Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 082
(Oleh : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Di Yaman, suasana hari Jum’at terasa
berbeda dengan hari-hari lainnya. Perbedaan tersebut akan terasa
menonjol manakala tinggal bersama komunitas Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Semenjak mentari pagi memancarkan cahayanya, denyut kehidupan terasa
menggeliat. Saat kehangatan sinar mentari menyapa, anak-anak kecil
keluar rumah penuh ceria. Mereka mengenakan jubah dan jas. Tampilan
mereka sangat apik dan bersih, kontras dengan tampilan mereka pada
hari-hari selain Jum’at.
Hari Jum’at, suasana pasar terasa lebih
ramai. Para lelaki berbelanja kebutuhan untuk makan siang. Sudah menjadi
tradisi pada hari Jum’at mengundang teman, tetangga, atau saudara untuk
makan siang bersama. Undangan makan siang selepas menunaikan shalat
Jum’at menciptakan suasana kehangatan dan keakraban tersendiri.
Persaudaraan terasa kental. Kedekatan hati terasa lekat mengikat.
Penjual kayu arak pun tak ketinggalan
hadir di tengah suasana hari Jum’at. Dengan mengeluarkan uang receh
sepuluh real Yaman, seseorang sudah bisa mendapatkan kayu untuk
bersiwak. Sebuah harga nan teramat murah untuk meraup pahala dari
menghidupkan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Hari Jum’at, hari yang penuh keutamaan.
Saat orang-orang beriman mengamalkan sunnah; mandi, berdandan,
mengenakan wewangian, bersiwak, dan amalan sunnah lainnya.
Al-Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahih-nya menyebutkan “Bab Fadhlu Yaumil Jumu’ah” (bab tentang Kemuliaan Hari Jum’at). Beliau rahimahullah menyebutkan hadits bahwa Abdurrahman al-A’raj sungguh telah mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خَيْرُ
يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ،
وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا
“Sebaik-baik hari (yang) matahari
terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan,
padahari itu pula dimasukkan kedalam surga, dan pada hari Jum’at
dikeluarkan darinya.” (HR. Muslim no. 854)
Dalam hadits lain disebutkan,
وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
“Tidaklah terjadi kiamat selain pada hari Jum’at.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan mandi pada hari itu. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sungguh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْجُمُعَةُ فَلْيَغْتَسِلْ
“Jika tiba hari Jum’at pada kalian, hendaklah kalian mandi.” (HR. al- Bukhari no. 877)
Kewajiban mandi ini pun dipertegas oleh hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sungguh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi pada hariJum’at adalah wajib bagi setiap orang yang telah baligh.” (HR. al-Bukhari no. 879)
Dianjurkan pula bersiwak pada hari Jum’at, sebagaimana disebutkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَوْ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ،عِنْدَ كُلِّ صَ ةَالٍ
“Seandainya tidak memberatkan atas umatku sungguh akan aku perintah mereka bersiwak setiap kali akan shalat.” (HR. al-Bukhari no. 887)
Pada hari Jum’at dianjurkan pula
mengenakan pakaian terbagus yang dimiliki oleh seseorang. Dalam sebuah
hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dikisahkan bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
melihat sebuah pakaian bergaris yang dijual di sisi pintu masjid. Umar
pun berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya
seandainya engkau membeli pakaian ini lantas engkau kenakan pada hari
Jum’at.” (HR. al-Bukhari no. 886)
Selain itu, pakailah pula wewangian. Hadits dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu menjelaskan hal ini. Sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam,
يَغْتَسِلُ
رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ
وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ
يَخْرُجُ فَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ
ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الْإِمَامُ إِ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ
وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى
“Tidaklah seseorang mandi pada hari
Jum’at, lalu bersuci semampunya, kemudian meminyaki dan mengoleskan
wewangian rumahnya, lantas keluar (menuju masjid) dan tidak memisahkan
diantara dua orang (yakni melangkahi dua orang yang duduk berdampingan
di masjid), lalu ia shalat sesuai apa yang telah ditetapkan untuknya,
setelah itu ia diam ketika imam (khatib) berbicara, kecuali ia akan
mendapatkan ampunan antara Jum’at tersebut dengan Jum’at berikutnya.” (HR. al-Bukhari no. 883)
Penamaan Hari Jum’at
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam Tafsir-nya, penamaan al-Jumu’ah berasal dari kata jum’atun, yang terambil dari akar kata al-jam’u. Mengapa demikian? Karena pada hari itu kaum muslimin berkumpul (setiap pekan) sekali di tempat-tempat peribadahan yang besar.
Dalam sebuah hadits dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Salman, apakah hari Jum’at itu?” Salman menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan,
يَوْمَ جُمِعَ فِيهِ أَبَوَاكَ
“Hari ketika dikumpulkannya (dipertemukannya) kedua orangtua kalian (Adam dan Hawa).”
(HR. al- Hakim dalam al-Mustadrak [1/277]. Al-Haitsami mengatakan dalam
al-Majma’ [2/174], “Riwayat ath-Thabarani dalam al-Kabir dan sanadnya
hasan.”)
Dijelaskan pula oleh Ibnu Katsir rahimahullah,
dahulu hari tersebut dinamakan Yaumul ‘Urubah. Sesungguhnya, umat-umat
terdahulu telah memiliki pilihan hari. Kaum Yahudi memilih hari Sabtu.
Kaum Nasrani memilih hari Ahad. Adapun umat ini dipilihkan oleh Allah Subhanahu wata’ala hari Jum’at. Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan orangorang beriman agar berkumpul pada hari Jum’at untuk beribadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ ذٰالِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
اِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseur untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Hal itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9)
Qailulah pada Hari Jum’at
Berbeda dengan hari yang lain, qailulah pada hari Jum’at dilakukan setelah
menunaikan shalat Jum’at. Adapun di selain hari Jum’at dilakukan
sebelum tergelincir matahari (sebelum waktu zhuhur). Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صل الله عليه وسلم الْجُمُعَةَ ثُمَّ تَكُونُ الْقَائِلَةُ
“Kami pernah shalat Jum’at bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, kemudian melakukan qailulah.” (HR. al-Bukhari no. 941)
Disebutkan pula dalam hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu,
مَا كُنَّا نَقِيلُ وَ نَتَغَدَّى إِ بَعْدَ الْجُمُعَةِ
“Tidaklah kami melakukan qailulah dan makan siang selain setelah (menunaikan) shalat Jum’at.” (Muttafaqun ‘alaih dan ini lafadz al-Imam Muslim)
Menurut al-Imam Muhammad bin Ismail bin
Amir ash-Shan’ani, yang dimaksud qailulah adalah istirahat di
pertengahan hari (siang hari) meski tidak disertai tidur. (Subulus Salam, 2/65)
Kisah pada Hari Jum’at
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
Nabi tengah berdiri berkhutbah pada hari Jum’at. Lantas datang
serombongan unta dari Syam (membawa barang dagangan). Berpalinglah
orang-orang ke sana hingga tidak tersisa selain dua belas orang saja.
Dengan kejadian ini, turunlah ayat dalam surat al-Jumu’ah,
وَاِذَارَاَوْاتِجَارَةًاَوْ
لَهْوًاانْفَضُّوآ اِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمَا ۗ قُلْ مَاعِنْدَ اللهِ
خَيْرٌ مِنَ الَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ ۗ وَاللهُ خَيْرُ
الرَّازِقِيْنَ
“Dan apabila mereka melihat
perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan
mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah,“Apa yang
di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan.” Dan
Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (al-Jumu’ah: 11)
Hadits ini menjadi dalil bahwa
disyariatkan berkhutbah pada hari Jum’at sambil berdiri. Pendapat ini
sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya (7/97), an-Nawawi rahimahullah dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (6/176), dan ash-Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salam (2/65).
Faedah lain dari hadits di atas,
sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi, disebutkan bahwa yang tersisa
hanya dua belas orang, termasuk sahabat Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dalam riwayat lain disebutkan, termasuk sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu sendiri. Ini menunjukkan manqabah (kedudukan terpuji) bagi tiga sahabat radhiyallahu ‘anhum tersebut. (al-Minhaj, 6/176)
Khutbah Jum’at Digugat
Seorang muslim dan muslimah, tidak sepatutnya lancang mendahului Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam. semestinya dia tunduk dan patuh terhadap segala ketentuan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءٰمَنُوْا لَاتُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُوا
اللهَ ۗ اِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌيَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْا
لَاتَرْفَعُوْآاَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتٍ النَّبِيِّ وَلَاتَجْهَرُوا
لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ
اَعْماَلُكُمْ وَاَنْتُمْ لَاتَشْعُرُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari
suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras
sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,
supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (al-Hujurat: 1-2)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa ayat di atas mengandung muatan adab terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam, yaitu mengagungkan, menghormati,dan memuliakannya. Allah Subhanahu wata’ala telah memerintah para hamba-Nya yang beriman dengan hal-hal yang dituntut oleh keimanan kepada Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya, yaitu menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan Nya. Dan agar mereka berjalan di belakang
perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala serta mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam semua urusan. Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan pula agar mereka tidak mendahului Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak berucap sebelum beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam menitahkan. Inilah hakikat adab yang wajib ditunaikan terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam. Inilah hakikat keberuntungan dan kebahagiaan hamba.
Adapun sikap lancang akan menyirnakan
kebahagiaan dan kenikmatan abadi. Dalam ayat ini terkandung larangan
mendahulukan perkataan (pendapat) selain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam di atas perkataan beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, sesungguhnya bilamana telah jelas sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, wajib untuk mengikuti dan mendahulukannya dari yang lain, apapun keadaannya. (Taisiral-Karimirrahman, hlm. 799)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قُلْ
اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ اللهُ
وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللهُ غَفُوْرٌرَحِيْمٌ
“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)
Menurut penjelasan asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah, ayat di atas mengandung makna bahwa tanda kejujuran (iman seorang hamba kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam) adalah mengikuti (ittiba’) kepada Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam
dalam segala aspek, baik ucapan maupun perbuatan, yang prinsip maupun
yang furu’ (cabang) dalam masalah agama, yang lahir maupun yang batin.
Barang siapa ittiba’ kepada Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam berarti menunjukkan kejujuran pengakuannya mencintai Allah Subhanahu wata’ala. (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 128)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَلَاوَرَبِّكَ
لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّىٰ يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَبَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِى اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُواتَسْلِيْمً
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku melarang kalian dari satu perkara, jauhilah ia. Apabila aku memerintahkan sebuah urusan, tunaikanlah semampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan satu amal tanpa dasar perintah kami, (amal) itu tertolak.” (HR. Muslim no. 1718 dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Maka dari itu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menetapkan bahwa shaf wanita dalam shalat
berada di belakang shaf pria, seorang wanita yang jujur keimanannya
akan tunduk patuh. Ia tak akan membantah dan menuntut persamaan hak
dengan kaum pria. Persamaan gender dalam hal ini tidak ada. Sebab,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberi contoh tentang hal ini.
Kata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
صَلَّى النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم فِي بَيْتِ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقُمْتُ وَيَتِيمٌ خَلْفَهُ وَأُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
shalat dirumah Ummu Sulaim. Aku dan seorang yatim berdiri di belakang
beliau, sedangkan Ummu Sulaim berada di belakang kami.”( HR. al-Bukhari no. 874)
Adapun orang yang hatinya diliputi oleh
hawa nafsu, tentu tidak berkenan dengan tata aturan ibadah semacam ini.
Hatinya akan berontak, tidak bisa menerima apa yang telah ditentukan
oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, tak hanya
masalah shaf yang ditentang. Khutbah Jum’at yang semestinya dilakukan
oleh seorang pria, digugat pula. Kata mereka, tidak adakah kesempatan
bagi da’i perempuan berkhutbah? Dari sekian ribu masjid di tanah air,
tidak ada satu pun wanita menjadi khatib. Satu-satunya wanita yang
berani berkhutbah Jum’at di hadapan pria dan menjadi imam shalat dengan
makmum kaum pria adalah Prof. Amina Wadud. Dia melakukannya di Masjid
Claremont Main Road di Cape Town, Afrika Selatan. Tidak hanya itu, Amina
Wadud -yang pernah memberi kuliah umum di Fakultas Ushuludin dan
Filsafat UIN Jakarta (4 Juni 2009) ini- pernah menjadi imam shalat
Jum’at di gereja katedral di Sundram Tagore Gallery, 137 Greene Street,
New York. Aktivis feminis liberal radikal ini tak lagi memiliki rasa
malu dan takut kepada Allah Subhanahu wata’ala
ketika menyalahi tuntunan Rasul-Nya. Berulang kali dia melakukan hal
ini. Di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford, Inggris, tahun 2008 lalu, ia
juga menjadi imam shalat Jum’at setelah menjadi khatib. Padahal di
antara jamaah yang hadir banyak dari kalangan pria.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
اِنْ يَتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْاَنْفُسُ ۚ وَلَقَدْ جَآءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدٰى ۗ
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, Dan
sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (an-Najm: 23)
Karena itu, ikutilah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَالنَّجْمِ اِذَا هَوٰى ۙمَاضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَاغَوٰى ۚوَمَايَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰىاِنْ هُوَ اِلَّا وَهْيٌ يُوْحٰى ۙ
“Demi bintang ketika terbenam,
kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 1-4)
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar