Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 043
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan)
Generasi yang shalih dan shalihah adalah harapan dan
cita-cita setiap individu muslim dan muslimah semenjak memutuskan untuk
berumah tangga. Sehingga dia berusaha memilih calon pasangan hidup yang
cocok dan sesuai dengan ketentuan syariat, dengan harapan Allah l akan
mengaruniakan kepadanya keturunan baik yang diharapkan.
Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)
Rasulullah n bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ؛ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا،
وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ
يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang
memiliki agama, kalau tidak niscaya kamu akan merugi.” (Muttafaqun
‘alaih, dari Abu Hurairah z)
Adapun usaha berikutnya adalah meminta dan berdoa kepada Allah l agar
dikaruniai keturunan yang shalih dan shalihah. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami),
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan:
74)
Rasulullah n bersabda:
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ:
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ
مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ
لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانَ أَبَدًا
“Seandainya salah seorang kalian apabila hendak menggauli istrinya
dia berdoa (yang artinya): Dengan menyebut nama Allah, ya Allah
jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau
karuniakan kepada kami; maka sesungguhnya apabila ditakdirkan mendapat
keturunan melalui hubungan tersebut, setan tidak akan memudaratkannya
selamanya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas c)
Setelah Allah l karuniakan keturunan, maka bertambah banyak tanggung
jawabnya: kewajiban memelihara, menafkahi, dan mendidik. Yang paling
besar adalah tanggung jawab untuk mendidiknya. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Sufyan Ats-Tsauri berkata dari Manshur, dari ‘Ali z: “Didiklah mereka
dan ajarilah mereka.” Mujahid t berkata: “Bertakwalah kalian kepada
Allah l dan berwasiatlah (berilah nasihat) kepada keluarga kalian dengan
takwa kepada Allah l.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/332)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Seorang hamba tidak akan
selamat (dari adzab-Nya) kecuali dia menegakkan perintah Allah l pada
dirinya dan pada orang-orang yang ada di bawah tanggung jawabnya,
seperti istri, anak, dan selain mereka.”
Dari Ibnu ‘Umar c, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الْإِمَامُ
رَاعٍ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ
فِي أَهْلِ بَيْتِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا،
وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Pimpinan negara adalah pemimpin, dan akan ditanya
tentang rakyatnya. Seorang kepala rumah tangga adalah pemimpin bagi
keluarganya dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang istri adalah
pemimpin dalam rumah suaminya, dan akan ditanya tentang rakyatnya.
Seorang pembantu adalah yang bertanggung jawab tentang harta tuannya dan
akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Maka masing-masing kalian adalah
pemimpin dan akan ditanya tentang rakyatnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa tarbiyah dan pendidikan anak
adalah tanggung jawab orangtua atau wali. Namun tatkala dihadapkan
kepada realita keterbatasan ilmu, kemampuan, dan kesempatan yang
dimiliki oleh orangtua atau wali, mereka menyerahkan tanggung jawab
tarbiyah dan pendidikan tersebut kepada lembaga-lembaga tarbiyah yang
telah tersedia, atau kepada para pendidik seperti ustadz dan ustadzah
yang memiliki kemampuan dan tanggung jawab pendidikan. Tentunya juga
harus didukung dengan lingkungan yang kondusif dan prasarana yang cukup.
Dari sinilah kita dapat menyatakan bahwa tarbiyah dan pendidikan itu
akan berjalan dengan baik, insya Allah, jika ditopang oleh empat hal:
1. Kesadaran orangtua atau wali.
2. Pendidik atau lembaga tarbiyah yang berakidah dan bermanhaj yang benar, serta memiliki kesadaran tanggung jawab tarbiyah.
3. Lingkungan yang kondusif untuk tarbiyah.
4. Sarana dan prasarana.
Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum memasukkan anak ke
sebuah lembaga tarbiyah adalah dengan memerhatikan keadaan lembaga
tersebut serta para pendidiknya yang:
1. Berakidah dan bermanhaj yang benar (Ahlus Sunnah wal Jamaah).
2. Berilmu dan bertakwa kepada Allah l.
3. Berakhlak mulia dan sabar.
4. Bertanggung jawab terhadap tarbiyah anak.
5. Lingkungan yang baik.
Hal ini karena pendidikan anak (tarbiyatul aulad) adalah tanggung
jawab orangtua atau wali, sehingga harus benar-benar diperhatikan.
Karena Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Ma’arij: 32)
Sehingga orangtua atau wali seharusnya mencarikan teman duduk yang
terbaik bagi anaknya, yaitu ustadz atau ustadzah, para pembantu
pendidikan, serta teman-teman belajar yang baik.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari z, bahwasanya Nabi n bersabda:
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ
الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ
يَحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ
رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخِ الْكِيْرِ إِمَّا يَحْرِقُ ثِيَابَكَ
وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا مُنْتِنَةً
“Hanya saja permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang
jelek seperti orang yang membawa minyak wangi (misik) dan orang yang
meniup tungku (untuk membakar besi). Orang yang membawa misik, mungkin
akan memberimu misik tersebut, atau mungkin engkau akan membelinya dari
dia, atau engkau akan mendapatkan bau wangi darinya. Adapun peniup
tungku (untuk membakar besi) mungkin akan membakar pakaianmu (dengan
percikan api), atau mungkin engkau akan mendapatkan bau tak sedap
darinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Lingkungan memiliki andil yang besar dalam tarbiyah. Lihatlah
bimbingan seorang yang berilmu kepada orang yang telah membunuh seratus
orang tatkala ia ingin bertaubat:
انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا
يَعْبُدُونَ اللهَ تَعَالَى فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى
أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضٌ سُوءٌ
“Pergilah ke negeri demikian dan demikian, karena di sana ada
orang-orang yang beribadah kepada Allah l, maka beribadahlah kepada
Allah bersama mereka, dan jangan kembali ke negerimu karena negerimu
adalah negeri yang buruk.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Abu Sa’id Al-Khudri
z)
Muhammad bin Sirin t berkata:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Peran Seorang Pendidik
Seorang pendidik (ustadz atau ustadzah) memiliki peran yang sangat
besar dalam membentuk dan mencetak anak-anak didiknya, terutama anak
didik yang belum berakal dan belum baligh. Mereka akan senantiasa
memerhatikan dan berusaha meniru apa yang dilakukan oleh pendidiknya.
Bahkan sering kita dengar dari mereka ketika dinasihati orangtua atau
walinya, atau terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, mereka
mengatakan: “Ustadz/ ustadzahku berkata demikian” atau “melakukan
demikian.” Oleh karena itulah, para pendidik wajib menyadari akan
kedudukannya dalam pandangan anak didiknya, yaitu sebagai pengganti
orangtua atau walinya, yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan
Allah l. Allah l berfirman:
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali
‘Imran: 79)
Rasulullah n bersabda:
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”
Dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ
“Hanya saja kedudukanku bagi kalian seperti orangtua, maka aku ajari kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 40 dan Ibnu Majah no. 313)
Beberapa hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik dalam rangka pendidikan adalah:
1. Menjadi teladan yang baik dalam ilmu dan amal.
Allah l mengisahkan perkataan Nabi Syu’aib q kepada kaumnya:
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa
yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan
selama aku masih berkesanggupan.” (Hud: 88)
Dari Abu ‘Amr Jabir bin Abdillah z, dari Nabi n, beliau bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا
وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa memberikan contoh yang baik dalam Islam, maka dia akan
mendapatkan pahalanya, dan pahala sebesar pahala orang yang
mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan
barangsiapa yang memberikan contoh yang jelek, dia akan mendapatkan
dosanya dan dosa sebesar dosa orang yang mengikuti dia, tanpa mengurangi
dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
Sehingga, seorang pendidik harus terus berusaha agar perbuatannya
tidak menyelisihi ucapannya, terutama di hadapan anak-anak didiknya.
Karena hal ini akan menjatuhkan kewibawaannya dan menghilangkan barakah
ilmunya, serta bisa membinasakan dirinya. Allah l berfirman:
ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫﮬ ﮭ ﮮ ﮯ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab
(Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (Al-Baqarah: 44)
Dari Abu Zaid Usamah bin Zaid c, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ
فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ
بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ :يَا
فُلَانُ، مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ
الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى، قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا
آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Didatangkan seseorang pada hari kiamat kemudian dilemparkan ke dalam
neraka, maka isi perutnya keluar kemudian dia berputar-putar padanya
sebagaimana keledai berputar di penggilingan. Maka penghuni neraka
berkumpul (melihatnya) lalu mereka berkata: ‘Wahai fulan, kenapa kamu?
Bukankah kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar?’
Dia menjawab: ‘Ya. Aku menyuruh yang ma’ruf namun aku tidak
melakukannya. Aku melarang dari yang mungkar namun aku melakukannya’.”
(Muttafaqun ‘alaih)
2. Materi pendidikan yang diberikan kepada anak didik ditekankan pada
akidah dan akhlak atau adab, dengan cara menunjukkan dalil-dalilnya
bila mampu. Karena dengan demikian, pendidik melatih anak didiknya untuk
bersikap ilmiah dalam beragama.
Allah l berfirman tentang Luqman Al-Hakim:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
(Allah), sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar’.” (Luqman: 13)
Allah l juga berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan
Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan
Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiya`: 25)
Dari Mu’adz z, dia berkata:
بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ n قَالَ: إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ –وفي رواية- أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ
“Rasulullah n mengutusku ke Yaman. Beliau bersabda: ‘Sungguh kamu
akan mendakwahi suatu kaum dari ahli kitab. Maka dakwahilah mereka untuk
mengucapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah, dan bahwasanya aku adalah utusan Allah’.”
Dalam riwayat yang lain: “Agar mereka mentauhidkan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Metode atau cara yang dituntunkan oleh para imam salaf seperti
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab t di dalam kitab Al-Ushul
Ats-Tsalatsah bagus sekali. Alangkah bagusnya kalau anak didik disuruh
menghafal kemudian dijelaskan sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.
Sedikit demi sedikit. Ini dalam permasalahan akidah.
Dalam masalah akhlak atau adab, bisa diambilkan dari kitab Riyadhush
Shalihin. Dalil-dalilnya dihafalkan dan dijelaskan pula sesuai dengan
kemampuan mereka.
Materi fiqih bisa diambil dari ‘Umdatul Ahkam dengan metode yang
sama. Hal ini insya Allah lebih bermanfaat bagi anak didik. Selain pula
sebagai sebuah upaya untuk mengenalkan dan menanamkan kecintaan dalam
diri anak didik terhadap para imam salaf dan cara mereka dalam memahami
agama
3. Memberi beban hafalan atau materi pelajaran lainnya sesuai dengan
kemampuan mereka, sehingga anak didik merasa senang dan semangat
belajar.
Allah l berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
Dari Anas z, dari Nabi n, beliau bersabda:
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira dan
jangan kalian membuat (mereka) lari (dari dakwah).” (Muttafaqun ‘alaih)
Ketika ada anak didik mendapatkan kesulitan dalam menghafal atau
materi pelajaran lainnya, hendaknya pendidik berusaha membantunya dan
menjelaskan sejelas-jelasnya, dengan sabar dan berulang-ulang. Nabi n
bersabda:
فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
“Bila kalian memberi beban kepada mereka, maka bantulah mereka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Dzar z)
Hendaknya pendidik tidak memberikan beban hafalan atau pelajaran yang
tidak dimampu oleh anak didik. Beban hafalan atau pelajaran di luar
kemampuan mereka akan menyebabkan mereka malas belajar dan putus asa,
tidak mau belajar lagi. Hal ini haram hukumnya. Allah l berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Dari Aisyah x, dari Nabi n, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ
عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا
فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
“Ya Allah, barangsiapa mengurus sebagian dari urusan umatku kemudian
dia menyusahkan mereka, maka jadikanlah dia susah. Dan barangsiapa yang
mengurus sebagian urusan umatku kemudian bersikap lemah lembut terhadap mereka, maka lemah lembutlah kepadanya.” (HR. Muslim)
Dari Jabir c, dia berkata:
صَلىَّ مُعَاذٌ بِأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ
n: أَتُرِيْدُ أَنْ تَكُونَ يَا مُعَاذُ فَتَّانًا؟ إِذَا أَمَّمْتَ
النَّاسَ فَاقْرَأْ {وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا} وَ {سَبِحِ اسْمَ رَبِّكَ
الْأَعْلَى} وَ {اقْرَأْ بِسْمِ رَبِّكَ} وَ {وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى}
“Mu’adz mengimami shalat Isya bagi para sahabatnya, lalu dia
memanjangkan (shalat) hingga memberatkan mereka. Maka beliau n bersabda:
‘Apakah engkau ingin menjadi orang yang menimbulkan fitnah, wahai
Mu’adz? Apabila engkau mengimami orang-orang, bacalah Wasy-syamsi wa
dhuhaha, atau Sabbihisma rabbikal a’la, atau Iqra` bismi rabbika, atau
Wal-laili idza yaghsya’.” (Muttafaqun ‘alaih)
4. Sabar menghadapi berbagai karakter, tingkah laku dan tingkat
kecerdasan anak-anak didiknya. Karena, itu semuanya adalah ujian dan
cobaan dari Allah l. Allah l berfirman:
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?” (Al-Furqan: 20)
Memang fitrah manusia akan mencintai anak yang penurut, pandai,
cerdas dan berakhlak baik. Namun kecintaan itu tidak boleh
menghalanginya untuk mendidik dengan adab yang benar atau justru
membawanya berbuat tidak adil terhadap anak didiknya yang lain, misalnya
dalam pemberian atau hibah.
Rasulullah n sangat mencintai Hasan bin ‘Ali c. Namun tatkala dia
hendak makan kurma shadaqah (dan shadaqah adalah haram bagi ahlil bait),
beliau n pun mencegahnya. Dari Abu Hurairah z, dia berkata:
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ c تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ
فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ فَقَالَ النَّبِيُّ n: كَخْ كَخْ. لِيَطْرَحَهَا
ثُمَّ قَالَ: أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟
“Hasan bin ‘Ali c mengambil sebutir kurma shadaqah kemudian dia
masukkan ke mulutnya. Maka Nabi n berkata: ‘Kakh, kakh,’ agar Hasan
membuangnya. Lalu beliau n bersabda: ‘Tidakkah engkau mengerti bahwa
kita (ahlul bait) tidak makan shadaqah?’ (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah n juga sangat mencintai Fathimah x, namun beliau n bersabda:
وَأَيْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعَ مُحَمَّدٌ يَدَهَا
“Demi Allah, bila Fathimah bintu Muhammad mencuri, sungguh Muhammad
(n) akan memotong tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari sahabat Usamah
bin Zaid c)
Rasulullah n juga bersabda:
فَاتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah kepada Allah, dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaih, dari sahabat An-Nu’man bin Basyir c)
Bila pendidik mendapati anak didik yang bandel, kurang beradab, tidak
cerdas atau banyak tingkah, maka kebenciannya tidak boleh menyeretnya
untuk berbuat zalim. Allah l berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ma`idah: 8)
Upaya pembenahan dan perbaikan terhadap anak yang bandel atau banyak
tingkah bisa diusahakan tanpa pukulan. Bisa dengan nasihat secara lisan,
atau dibentak, atau ditakut-takuti tanpa berlebihan sehingga tidak
menimbulkan sikap minder pada anak. Hal itu dilakukan terlebih dahulu
disertai dengan doa, karena Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelemahlembutan itu tidaklah ada dalam suatu perkara
kecuali akan menjadikannya bagus, dan tidaklah kelemahlembutan itu
dicabut dari sesuatu kecuali akan menjadikannya jelek.” (HR. Muslim,
dari ‘Aisyah x)
Dari ‘Aisyah x, dia berkata:
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللهِ n بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا
“Tidaklah Rasulullah n diberi pilihan antara dua perkara kecuali
beliau akan memilih yang paling mudah atau ringan, selama bukan dosa.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Aisyah x, dia berkata:
مَا ضَرَبَ النبي n قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Nabi n tidak pernah memukul dengan tangannya kepada istri maupun pembantu, kecuali dalam jihad di jalan Allah.” (HR. Muslim)
5. Bersikap pemaaf dan tawadhu’ (rendah hati)
Dua perkara ini memiliki pengaruh yang besar dalam tarbiyah dan
pendidikan. Karena, ketika anak didik mendapati ustadz atau ustadzahnya
memiliki jiwa pemaaf dan tawadhu’, hal itu akan menambah kewibawaan di
hadapan anak didik. Sehingga berbagai macam nasihat dan bimbingan akan
lebih mudah mereka terima. Dari Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n
bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ
إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah
seorang hamba dengan pemaafannya kecuali izzah (kewibawaan). Dan
tidaklah seseorang bersikap rendah hati (tawadhu’) karena Allah, kecuali
Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)
6. Berusaha menggunakan kata-kata yang baik dan banyak mendoakan kebaikan bagi anak didiknya. Karena Rasulullah n bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia
berkata yang baik atau diam (bila tidak mampu).” (Muttafaqun ‘alaih,
dari sahabat Abu Hurairah z)
Dari Abu Hurairah z, bahwa Nabi n bersabda:
وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Dan kalimat yang baik itu shadaqah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Adi bin Hatim z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ
“Berlindunglah kalian dari neraka, walaupun dengan menyedekahkan
separuh kurma. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya, maka dengan
kata-kata yang baik.” (Muttafaqun ‘alaih)
Di antara kalimat yang baik adalah doa kebaikan untuk anak didiknya.
Sebagaimana Rasulullah n mendoakan kebaikan bagi Ibnu ‘Abbas, Hasan bin
‘Ali, dan para sahabat yang lainnya g:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Alah, pahamkanlah dia (Ibnu ‘Abbas) dalam agama, dan ajarilah dia
tafsir.” (HR. Ath-Thabarani, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t
dalam Ash-Shahihah no. 2589)
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya (Hasan bin ‘Ali), maka cintailah dia.” (Muttafaqun ‘alaih)
Para ulama pun mencontohkan untuk mendoakan kebaikan bagi
murid-muridnya. Misalnya dengan ucapan rahimakallah (semoga Allah
merahmatimu), hadakallah (semoga Allah memberimu hidayah), ashlahakallah
(semoga Allah memperbaikimu), dan lainnya.
Mudah-mudahan dengan berbagai daya dan upaya tersebut, Allah l
memberikan barakah terhadap usaha-usaha tarbiyah dan pendidikan
anak-anak kita. Sehingga muncul dari mereka para ulama dan da’i yang
berjalan di atas akidah dan manhaj Ahlus Sunnah. Amin. Allahumma
taqabbal du’a`.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar