Perbedaan Antara Bantahan Terhadap Ahlul Bida’ Dan Bantahan Terhadap Ahlus Sunnah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahuLlahu ta’ala
Diperbolehkan bagi seorang ulama Ahlus Sunnah untuk membantah ulama Sunnah yang lain jika ada maslahat yang menuntutnya, akan tetapi bantahan terhadapnya berbeda dengan bantahan tehadap ahlul bida’ dan kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, sebagaimana dalam “Majmu’ Al-Fatawa” (28/233-234):
“Oleh karena itu wajib menjelaskan
keadaan orang yang keliru dalam hadits dan riwayat, orang yang keliru
dalam pandangan dan fatwa dan orang yang keliru dalam hal zuhud dan
ibadah. Jika orang yang keliru itu seorang mujtahid maka kekeliruannya
diampuni dan dia mendapat pahala atas ijtihadnya. Maka menjelaskan
ucapan dan amalan yang ditunjukkan oleh al-kitab dan as-sunnah adalah
wajib, meskipun kenyataan kitab dan sunnah itu berbeda dengan ucapan dan
amalannya. Siapa yang
diketahui darinya ijtihad yang diperbolehkan maka tidak boleh dia
disebutkan saat mengkritik dalam bentuk mencelanya dan mendosakannya.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengampuni kekeliruannya. Bahkan
dia harus dicintai dikarenakan apa yang dia miliki berupa keimanan,
ketakwaan, loyalitasnya, kecintaannya dan penunaiannya akan apa yang
Allah Ta’ala wajibkan dari hak-hak-Nya berupa pujian dan do’a dan selain
itu.”
Yang menjadi inti pendalilan adalah ucapan beliau: ”Maka tidak boleh dia disebutkan saat mengkritik dalam bentuk mencelanya dan mendosakannya.”
Dan juga tidak selayaknya manusia diajak untuk meghajrnya dan menghentikan pelajarannya, ceramahnya, dan menimba ilmu darinya. Dan tidak menghukumi dia itu hizby atau jatuh pada bid’ah selama dia masih di dalam lingkaran sunnah.
Adapun jika bantahan itu datang dari penuntut ilmu, maka kebanyakannya mereka itu bukanlah orang-orang yang pantas membantah. Oleh karenanya engkau temukan pada bantahan-bantahan mereka adanya sikap melampaui batas, keserampangan dan kezhaliman. Bahkan sebagian mereka berusaha menampakkan bahwa dia adalah orang yang mampu untuk mengkritik ulama. Sampai-sampai sebagian mereka menempuh jalan dengan mencela aqidah seorang ‘alim sunny, padahal belum ada seorangpun dari para ulama yang mendahuluinya dalam hal itu. Lihatlah perlombaan ini yang pada hakekatnya adalah kelancangan terhadap ulama.
Dan aku mengatakan kepada orang jenis
ini: Jika kau terus dalam menuntut ilmu dan bisa mengambil manfaat
darinya, akan nampak bagimu pada waktu yang akan datang kesalahanmu ini
dan ketergesa-gesaanmu. Maka hati-hati dari sikap tergesa-gesa pada
suatu perkara yang padanya harus dihadapi dengan pelan-pelan.
Perkara-perkara yang bisa membantu untuk
berlaku seimbang dan menggapai sikap adil adalah mengetahui perbedaan
antara bantahan tehadap ahlus sunnah dan ahlul bid’ah.
Berikut ini penyebutan sebagian perbedaan:
Bantahan tehadap ahlul bid’ah dan hizbiyah adalah wajib kifayah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyaah rahimahullah, berkata sebagaimana dalam “Majmu’ Al-Fatawa” (28/231-232):
“Dan
seperti imam-imam bid’ah dari para pemilik ucapan yang menyimpang dari
kitab dan sunnah, atau pelaku ibadah yang menyimpang dari kitab dan
sunnah, sesungguhnya menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat
dari mereka adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Dimana
pembersihan jalan Allah Ta’ala, agama-Nya, manhaj-Nya, syari’at-Nya dan
menolak kezhaliman mereka serta permusuhan mereka atas hal itu adalah wajib kifayah
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Kalaulah bukan karena Allah
Ta’ala menjadikan adanya orang yang menepis gangguan mereka niscaya
rusaklah agama ini. Dan niscaya kerusakannya lebih besar dibanding
kerusakan pendudukan musuh dari pelaku peperangan. Sesungguhnya mereka
jika menduduki tidaklah akan merusak kalbu dan apa yang pada padanya
berupa agama kecuali hanya sebagai imbas saja. Adapun mereka, merusak
kalbu pada permulaan.”
Berbeda
dengan seorang sunny yang keliru maka dia memiliki kesempatan yang
luas, beruapa nasehat baginya, atau usaha untuk memperbaiki apa yang
nampak darinya berupa kekeliruan akan hak orang lain, jika bagi
perbaikan tersebut ada ijin syar’i, jika maslahat menuntut untuk adanya
bantahan maka dibantah.
Bantahan terhadap ahlul bid’ah dan
hizbiyah tidak perlu disebutkan padanya kebaikan mereka. Karena hikmah
dari bantahan ini selain menjelaskan kebenaran dan menampakkan bathilnya
suatu kebathilan adalah memperingatkan manusia dari mereka dan
menjauhkan dari mereka. Berbeda
dengan bantahan terhadap seorang ‘alim dan sunny maka diperingatkan
dari kekeliruannya bersamaan tidak memperingatkan manusia atau
menjauhkan mereka darinya. Dan dijaga kedudukannya.
Para
penyeru bid’ah dan hizbiyah diperingatkan dalam bantahan terhadap
mereka dari mengambil ilmu dari mereka, dan dari menghadiri khutbah
mereka serta ceramah mereka. Berbeda jika yang dibantah adalah seorang ahlus sunnah maka disebutkan dalam bantahan bahwa dia tidak diikuti dalam kekeliruannya, dan dia adalah tempat yang masih bisa dipercaya dan diterima, maka ilmu ditimba darinya dan dihadiri majelisnya.
Menghajr para penyeru bid’ah dan hizbiyah berdasarkan maslahat. Berbeda dengan seorang ‘alim dan sunny maka manusia tidak diajak untuk menghajrnya.
Mencerca
penyeru kebathilan dan menjelaskan kondisi mereka terhadap umat adalah
tuntutan syar’i sesuai dengan kemampuan dan maslahat, dan sesuai dengan
kebid’ahan mereka. Berbeda dengan bantahan terhadap sunny maka dilakukan dengan kelembutan dan kasih sayang. Ini
adalah asalnya, jika ada tuntutan maslahat untuk keluar dari asal ini
maka dilakukan dan diukur dengan kadar yang diperlukan.
Dan tidaklah dipahami dari ucapanku bahwa
orang yang berbicara tentang ahlul bid’ah dan hizbiyah berbicara dengan
zhalim dan melampaui batas, karena hal ini adalah haram pada siapapun.
Yang dimaksud dengan mencerca di sini adalah menjelaskan bahaya bid’ah
mereka terhadap muslimin dan menjelaskan tentang lancangnya mereka untuk
menyebarkannya dan terfitnahnya manusia karenanya.
[Diterjemahkan oleh Al-Akh ‘Umar Al-Indunisy hafizhahuLlahu ta'ala wa jazaahu khairon, Darul Hadits – Ma’bar, Yaman harosahuLlahu ta'ala. Dari Kitab “Al-Ibanah ‘An Kaifiyah At-Ta’amul Ma’a Al-Khilaf Baina Ahli As-Sunnah Wa Al-Jama’ah” halaman 47-49. Dinukil dari: http://thalibmakbar.wordpress.com/]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar