Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-membuat-tab-view-di-blog.html#ixzz2EU7pdnWj
Diberdayakan oleh Blogger.

Amalan-amalan Bulan Dzulhijjah dan Keutamaannya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah ta’ala atas segala nikmat yang dicurahkan kepada hamba-hamba-Nya. Seorang hamba dituntut untuk selalu beribadah kepada Allah ta’ala sepanjang hayatnya. Allah ta’ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu kematian.” [Al-Hijr: 99]
Dengan hikmah dan rahmat-Nya, Allah ta’ala juga menetapkan berbagai macam bentuk ibadah di waktu-waktu tertentu. Semua itu dalam rangka menyempurnakan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi–Ku makan. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh.” [Adz-Dzariyat: 56-58]
Diantara waktu yang sangat utama untuk beribadah kepada Allah ta’ala adalah satu bulan yang mulia dalam Islam, yaitu bulan Dzulhijjah, terutama sepuluh hari awalnya. Allah ta’ala berfirman,
وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi waktu fajar. Dan demi malam yang sepuluh.” [Al-Fajr: 1-2]
Banyak ahli tafsir menjelaskan bahwa makna “malam yang sepuluh” dalam ayat diatas adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan Allah ta’ala bersumpah dengannya menunjukkan bahwa ia memiliki keutamaan. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam Tafsir beliau,
والليالي العشر: المراد بها عشر ذي الحجة. كما قاله ابن عباس، وابن الزبير، ومجاهد، وغير واحد من السلف والخلف
“Sepuluh malam yang dimaksud dalam ayat ini adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid dan banyak lagi ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf yang berpendapat demikian.” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/390]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga telah menjelaskan keutamaannya dalam sabda beliau,
مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ ، فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ ، وَلاَ الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلاَ الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidaklah ada hari-hari yang lebih dicintai Allah ta’ala untuk beramal shalih melebihi sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berjihad bersama diri dan hartanya, lalu tidak ada yang kembali sedikitpun.” [HR. Al-Bukhari, no. 969 dan At-Tirmidzi, no. 757 dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma. Lafazh ini milik At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]
Amalan-amalan di Bulan Dzulhijjah
Pertama: Memperbanyak Amal Shalih
Hadits di atas menunjukkan disyari’atkannya memperbanyak amal shalih secara umum pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Sebagaimana juga disebutkan dalam riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَمَلٍ أَزْكَى عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلاَ أَعْظَمَ أَجْرًا مِنْ خَيْرٍ يَعْمَلُهُ فِي عَشْرِ الأَضْحَى
“Tidak ada satu amalan yang lebih suci di sisi Allah ‘azza wa jalla dan lebih besar pahalanya dari satu kebaikan yang dilakukan seseorang pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” [HR. Ad-Darimi dalam Sunan-nya no. 1776 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 3476, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 1248]
Kedua: Haji dan Umroh
Ibadah umroh disyari’atkan sepanjang tahun, adapun menyatukan ibadah haji dan umroh sekaligus hanyalah disyari’atkan pada bulan Syawwal, Dzulqa’dah dan sebagian Dzulhijjah. Allah ta’ala berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berbuat keji, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” [Al-Baqoroh: 197]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Antara umroh sampai umroh berikutnya adalah penghapus dosa yang dilakukan antara keduanya, dan haji yang mabrur tidaklah ada balasannya kecuali surga.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Adapun yang dimaksud dengan haji mabrur adalah haji yang memenuhi minimal tiga syarat:
  1. Ikhlas karena Allah ta’ala, yang dilandasi dengan tauhid yang murni tanpa tercampur dengan kesyirikan sedikitpun, dan bukan karena ingin pamer atau ingin dipanggil “Pak Haji” dan “Bu Haji”
  2. Mencontoh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam pelaksanaannya, tidak melakukan bid’ah atau amalan yang tidak berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
  3. Berusaha menjauhi perbuatan-perbuatan yang haram sebelum menunaikan ibadah haji, ketika menunaikannya maupun setelahnya.
Ketiga: Puasa Sunnah
Puasa yang disunnahkan adalah puasa sunnah secara umum pada 9 hari pertama di bulan Dzulhijjah, berdasarkan keumuman dalil tentang keutamaan amal shalih pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Adapun tanggal 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah diharamkan berpuasa.
Dan juga terdapat dalil khusus disyari’atkannya berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah (hari Arafah) bagi selain jama’ah haji. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan keutamaannya,
ثَلاَثٌ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa tiga hari tiap bulan, puasa Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya, maka inilah puasa yang bagaikan berpuasa setahun penuh, puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) aku harapkan kepada Allah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang, dan puasa Asyura (tanggal 10 Muharram) aku harap kepada Allah dapat menghapuskan dosa setahun lalu.” [HR. Muslim dari Qotadah radhiyallahu’anhu]
Keempat: Memperbanyak Tahlil, Takbir, Tahmid dan Dzikir-dzikir Lainnya yang Disyari’atkan
Allah ta’ala berfirman,
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ
“Dan hendaklah mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah dimaklumi tersebut.” [Al-Hajj: 28]
Dan juga firman Allah ta’ala,
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
“Dan berdzikirlah dengan menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” [Al-Baqoroh: 203]
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih beliau,
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ
“Dan berkata Ibnu ‘Abbas, Berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang telah dimaklumi maksudnya adalah pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sedangkan hari-hari yang sudah ditentukan adalah hari-hari tasyriq (penyembelihan).”
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ، فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ
“Tidaklah ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal shalih yang lebih dicintai Allah ta’ala daripada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, maka perbanyaklah ucapan tahlil, takbir dan tahmid.” [HR. Ahmad no. 6154 dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Anauth]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jumlah hari yang disunnahkan untuk memperbanyak dzikir adalah sebanyak 13 hari, yaitu 10 hari awal Dzulhijjah dan 3 hari Tasyriq.
Beberapa Ketentuan tentang Takbir
Terdapat dalil secara khusus untuk memperbanyak takbir dan mengeraskannya (bagi laki-laki, adapun bagi wanita hendaklah dipelankan suaranya), baik di masjid, di rumah maupun di tempat umum, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih beliau,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ
“Dahulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar menuju pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah dalam keadaan bertakbir dan manusia pun ikut bertakbir, dan Muhammad bin Ali bertakbir setelah sholat sunnah.”
Ulama menjelaskan bahwa takbir di sini ada dua bentuk:
  1. Takbir muthlaq, yaitu takbir yang dibaca kapan saja tanpa terikat waktu, dimulai sejak awal Dzulhijjah sampai akhir hari Tasyriq
  2. Takbir muqoyyad, yaitu takbir yang terkait dengan waktu sholat, dibaca setiap selesai sholat lima waktu, dimulai sejak shubuh hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq.
Hal ini disyari’atkan berdasarkan ijma’ dan perbuatan sahabat radhiyallahu’anhum [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 8/312 no. 10777].
Takbir ini disyari’atkan bagi selain jama’ah haji. Adapun bagi jama’ah haji disunnahkan untuk memperbanyak ucapan talbiyah sampai melempar jamrah ‘aqobah pada tanggal 10 Dzulhijjah, barulah dibolehkan bertakbir, dan boleh mulai bertakbir sejak lemparan pertama pada jamrah ‘aqobah tersebut sampai akhir hari tasyriq.
Dan boleh juga bagi jama’ah haji untuk menggabungkan antara takbir dan talbiyah, yakni terkadang membaca takbir dan terkadang membaca talbiyah, namun yang afdhal bagi yang sedang ihram untuk mengucapkan talbiyah, sedang bagi yang tidak ihram untuk bertakbir. Dan takbir ini dibaca sendiri-sendiri, adapun membacanya secara berjama’ah dengan satu suara atau dipimpin oleh seseorang maka termasuk perbuatan bid’ah, mengada-ada dalam agama [Lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, 13/19].
Apalagi sampai mengadakan konvoi di jalanan yang dapat mengganggu ketertiban umum dan terjadi berbagai macam kemaksiatan seperti ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan wanita), meneriakkan takbir diiringi alat-alat musik (padahal musik itu sendiri diharamkan dalam Islam) dan berbagai kemungkaran lainnya yang biasa terjadi pada malam dan hari raya.
Adapun lafaz takbir diantaranya adalah seperti yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau membaca takbir pada hari-hari tasyriq,
الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد
“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illaLlah, waLlahu Akbar, Allahu Akbar, wa liLlahil hamd” (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada yang berhak disembah selain Allah, dan Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi Allah).” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya no. 5697, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa no. 654 dan beliau mendha’ifkan hadits Jabir radhiyallahu’anhu dengan lafaz yang sama]
Dan beberapa lafaz lain yang diriwayatkan dari para sahabat dan tabi’in, namun tidak ada dalil adanya lafaz khusus dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sehingga dalam perkara ini terdapat keluasan [Lihat Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah, 5/169-171].
Kelima: Sholat ‘Ied dan Berqurban
Allah ta’ala berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka sholatlah hanya untuk Rabb-mu dan berqurbanlah hanya untuk-Nya.” [Al-Kautsar: 2]
Banyak ahli tafsir menjelaskan bahwa maksud sholat dan qurban dalam ayat di atas adalah sholat ‘iedul adha dan berqurban pada hari itu setelah melaksanakan sholat. Dan penafsiran tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا ، وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ عَجَّلَهُ لأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya pertama kali yang akan kita kerjakan pada hari ini adalah sholat, kemudian kita kembali, lalu kita berqurban. Maka barangsiapa yang melakukan itu, berarti dia telah mengamalkan sunnah kami dengan tepat, dan barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat maka itu hanyalah daging biasa yang dia berikan untuk keluarganya dan bukanlah sebuah nusuk (ibadah qurban) sama sekali.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Baro’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu]
Keenam: Memperbanyak Do’a dan Dzikir pada hari Arafah (Terutama bagi Jama’ah Haji)
Disunnahkan bagi kaum muslimin secara umum, selain berpuasa pada hari Arafah, untuk lebih memperbanyak do’a dan dzikir pada hari Arafah. Terutama bagi jama’ah haji, sehingga pada hari Arafah tidak disyari’atkan bagi jama’ah haji untuk berpuasa agar mereka bisa lebih kuat untuk memperbanyak do’a dan dzikir kepada Allah ta’ala.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Tidaklah ada satu hari yang Allah membebaskan hamba dari api neraka lebih banyak dari hari Arafah. Sesungguhnya Allah mendekat, kemudian membanggakan hamba-hamba-Nya kepada para malaikat, seraya berfirman, apa yang mereka inginkan.” [HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah. Dan sebaik-baik dzikir yang aku ucapkan dan juga diucapkan para nabi sebelumku adalah,
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Laa ilaaha illaLlahu wahdah, laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syaiin Qodiir” (Tidak ada yang berhak disembah selain Allah yang satu saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kekuasaan dan milik-Nya segala pujian, dan Dia Maha Mampu atas segala sesuatu).” [HR. At-Tirmidzi no. 3585 dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu’anhu, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani]
Ketujuh: Bagi yang Telah Berniat untuk Menyembelih Kurban, Tidak Dibolehkan untuk Memotong Rambut Seluruh Tubuhnya, Kulitnya dan Kukunya Mulai tanggal 1 Dzulhijjah sampai Menyembelih Qurbannya
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian telah berniat untuk berqurban, maka janganlah ia memotong rambutnya dan kulitnya sedikitpun.” [HR. Muslim dari Ummu salamah radhiyallahu’anha]
Dalam riwayat yang lain,
فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
“Janganlah ia memotong rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sampai ia menyembelih.” [HR. Muslim dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha]
Tidak boleh dipotong juga bermakna tidak boleh dihilangkan dengan cara lain seperti dipecahkan, dibakar dan lain sebagainya. Ketentuan ini berlaku bagi seseorang yang telah berniat untuk berkurban, adapun keluarganya yang akan ia sertakan, tidaklah berlaku bagi mereka. Dan rambut yang dimaksud dalam hadits di atas, mencakup rambut seluruh tubuhnya, baik di kepalanya maupun badannya. WaLlahu A’lam.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates addiinradio by Ourblogtemplates.com 2008

Kembali ke Atas