Al-Ustadz Idral Harits
Allah Ta’ala mengutus Nabi Hud
‘alaihissalam kepada bangsa ‘Aad, generasi pertama yang tinggal di
daerah Ahqaf di wilayah Hadhramaut, ketika semakin bertambah kejahatan
dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah. Mereka
berkata:
مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً
“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)
Selain itu, kaum ‘Aad juga melakukan
kesyirikan terhadap Allah dan kedustaan terhadap para rasul. Maka, Allah
mengutus Nabi Hud ke tengah-tengah mereka untuk mengajak mereka agar
menyerahkan semua ibadah hanya untuk Allah satu-satunya dan melarang
dari perbuatan syirik dan kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba
Allah. Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara dan mengingatkan
mereka akan berbagai nikmat yang telah Allah berikan berupa kebaikan
dunia, kelebihan rizki dan kekuatan tubuh. Tapi mereka menolak seruan
tersebut dan menampakkan sikap sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi
Hud. Mereka bahkan mengatakan:
يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ
“Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)
Mereka telah melakukan kedustaan dengan
pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi-pun, melainkan pasti telah
Allah berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu semua orang
akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat (tanda-tanda
kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka bawa itu
sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama
bahwasanya ajaran agama ini adalah dari sisi Allah. Di samping kokoh dan
sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja,
sesuai dengan situasi dan kondisi. Kebenaran berita yang ada dalam agama
ini berupa perintah terhadap semua kebaikan dan larangan dari segala
kejahatan, turut menjadi bukti kebenaran para rasul. Juga masing-masing
rasul itu membenarkan rasul yang datang sebelumnya dan menjadi saksi
akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus membenarkan dan menjadi saksi pula
bagi rasul yang akan datang setelahnya.
Nabi Hud sendirian dalam berdakwah,
menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan menyatakan
mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi Hud
adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat
sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud dengan sesembahan
mereka. Bila beliau tidak berhenti, niscaya Nabi Hud –menurut ancaman
mereka- akan ditimpa penyakit kegilaan dan kejelekan. Namun Nabi Hud
justru terang-terangan melemparkan tantangan kepada mereka, dan berkata:
إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ
مِن دُونِهِ ۖ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنظِرُونِ
إِنِّي
تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم ۚ مَّا مِن دَابَّةٍ إِلَّا
هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا ۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya aku jadikan Allah
sebagai saksiku, dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya. Sebab
itu jalankanlah tipu daya kalian semuanya terhadapku dan janganlah
kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada
Allah Rabb-ku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun
melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di
atas jalan yang lurus.” (Hud: 54-56)
Maka ayat mana lagi yang lebih besar
dari tantangan Nabi Hud kepada musuh-musuhnya yang sangat menentang
seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka telah
melampaui batas, Nabi Hud meninggalkan dan mengancam mereka dengan
turunnya adzab Allah. Maka datanglah adzab tersebut menyebar di seluruh
cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang parah dan sangat membutuhkan
siraman air hujan. Di saat mereka dalam keadaan bergembira dan berkata:
هَٰذَا عَارِضٌ مُّمْطِرُنَا
“Inilah awan yang akan menurunkan hujan.” (Al-Ahqaf: 24)
Allah pun berfirman:
بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُم بِهِ ۖ
“(Bukan)! Bahkan itulah adzab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (Al-Ahqaf: 24)
Yaitu, kalian minta disegerakan dengan
ucapan kalian: “Datangkanlah apa yang engkau janjikan kepada kami kalau
engkau orang yang benar.”
Allah berfirman:
رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ
“(Yaitu) angin yang mengandung adzab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.” (Al-Ahqaf: 24-25)
Yakni, menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah berfirman:
سَخَّرَهَا
عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى
الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَىٰ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
“Yang Allah timpakan angin itu
kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu
lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka
tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (Al-Haqqah: 7)
فَأَصْبَحُوا لَا يُرَىٰ إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
“Maka jadilah mereka tidak ada yang
terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (Al-Ahqaf: 25)
Semua itu terjadi di saat mereka
dahulunya senantiasa tertawa gembira, kemuliaan yang baligh (nyata),
kemewahan dunia yang berlimpah, dan seluruh kabilah dan daerah-daerah di
sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah kirimkan
kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara
terus-menerus agar mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam
kehidupan dunia. Padahal sungguh adzab akhirat itu lebih menghinakan
sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.
وَأُتْبِعُوا
فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا إِنَّ
عَادًا كَفَرُوا رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّعَادٍ قَوْمِ هُودٍ
“Dan mereka selalu diikuti dengan
kutukan di dunia ini, dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah,
sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah,
kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)
Allah menyelamatkan Nabi Hud serta
orang-orang yang beriman bersama beliau. Sesungguhnya di dalam kisah ini
benar-benar terdapat ayat yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah
dan pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para pengikut mereka,
pertolongan Allah kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan pada hari
berdirinya saksi-saksi (hari kiamat). Juga ayat tentang batilnya
kesyirikan, dan kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan, dan juga
di dalamnya terdapat ayat atau bukti atas kehidupan sesudah mati dan
dikumpulkannya seluruh manusia. Beberapa pelajaran penting dari kisah
Nabi Hud Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh, di dalam kisah ini
terdapat beberapa faedah yang sama pada semua rasul. Faedah-faedah itu
antara lain:
1. Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya
mengisahkan kepada kita berita umat-umat yang bertetangga dengan kita di
Jazirah Arab dan sekitarnya.
Al Qur’an telah menyebutkan metode
paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan. Allah juga
telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang
sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah
lain yang lebih jauh dari kita, di Timur atau di Barat, telah Allah utus
seorang Rasul kepada mereka. Begitu pula telah dipaparkan bagaimana
sambutan, penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima.
Tidak ada satu umat pun melainkan telah Allah utus kepada mereka seorang
Rasul.
Sangat bermanfaat bagi kita untuk
mengingat keadaan daerah-daerah di sekitar kita serta apa yang kita
terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat kita saksikan dari
peninggalan mereka ketika kita melewati (bekas-bekas) tempat kediaman
mereka setiap saat dan kitapun memahami bahasa mereka, dan tabiat mereka
lebih dekat kepada tabiat yang ada pada kita. Tentu saja manfaat ini
sangat besar, dan lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan
umat yang belum pernah kita dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal
bahasa mereka dan tidak sampai kepada kita keadaan mereka seperti yang
Allah ceritakan kepada kita. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat dengan pemahaman
mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah mereka
dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibanding yang lain.
Tentunya lebih pantas untuk disebutkan
dengan cara yang lain meskipun juga mengandung kebenaran. Namun
kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau pendidik bila
dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu dan kebaikan
kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat umat
lari dari dakwah atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk
menegakkan hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat. Allah telah
mengisyaratkan hal ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman
Allah:
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُم مِّنَ الْقُرَىٰ وَصَرَّفْنَا الْآيَاتِ
“Dan sesungguhnya Kami telah
membinasakan negeri-negeri di sekitarmu, dan Kami telah mendatangkan
tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (Al-Ahqaf: 27)
Yakni telah Kami sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami:
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Supaya mereka kembali (bertaubat).” (Al-Ahqaf: 27)
Yaitu agar lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran.
2. Menjadikan bangunan-bangunan yang
besar dan megah sebagai suatu kebanggaan dan kesombongan serta perhiasan
dan menindas hamba-hamba Allah dengan sewenang-wenang adalah perbuatan
yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui batas
sebagaimana diterangkan Allah dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari
oleh Nabi Hud:
أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ آيَةً تَعْبَثُونَ
“Apakah kalian mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main.” (Asy-Syu’ara: 128)
Secara umum bangunan untuk istana,
benteng, rumah dan bangunan lainnya, mungkin saja dijadikan tempat
tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri beraneka ragam
dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah (dibolehkan)
dan justru menjadi wasilah (jalan) kepada kebaikan apabila disertai
dengan niat yang lurus. Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng
pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah atau
manfaat lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di
jalan Allah, berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap
musuh. Namun bisa saja itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan
kekejaman terhadap hamba-hamba Allah, atau pemborosan harta yang
sebetulnya dapat digunakan di jalan yang bermanfaat. Ini tentu saja
merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah pada bangsa ‘Aad atau yang
lainnya.
Faedah yang lain, bahwa akal pikiran
ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil atau
pengaruh yang ditimbulkan. Betapapun besar dan luasnya tetap tidak akan
bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia mengimbangi dengan keimanan
kepada Allah dan para rasul-Nya. Sedangkan orang yang menentang
ayat-ayat Allah, mendustakan para rasul Allah, walaupun dia mendapatkan
kesempatan atau diberi tangguh untuk menikmati kehidupan dunia,
kesudahan yang akan dia hadapi nanti sangatlah buruk. Pendengaran,
penglihatan dan akalnya tidak akan dapat membelanya sedikitpun jika
datang keputusan Allah. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam kisah
‘Aad:
وَلَقَدْ
مَكَّنَّاهُمْ فِيمَا إِن مَّكَّنَّاكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ
سَمْعًا وَأَبْصَارًا وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ
وَلَا أَبْصَارُهُمْ وَلَا أَفْئِدَتُهُم مِّن شَيْءٍ إِذْ كَانُوا
يَجْحَدُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا بِهِ
يَسْتَهْزِئُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah
meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah
meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada mereka
pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan
hati mereka itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka, karena mereka
selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa
yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (Al-Ahqaf: 26)
Dalam ayat lain:
فَمَا
أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مِن
شَيْءٍ لَّمَّا جَاءَ أَمْرُ رَبِّكَ ۖ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“Karena itu tidaklah bermanfaat
sedikitpun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah, di
waktu adzab Rabb-mu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah kepada
mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar