oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
Kaum muslimin masih
terus mendapat tekanan dari orang-orang Quraisy. Ketika sebagian dari
mereka hijrah ke Habasyah, orang-orang Quraisy masih saja mengejar untuk
membinasakan mereka. Penderitaan kaum muslimin makin bertambah ketika
mereka diboikot di lembah Abu Thalib.
Semakin lama, semakin
keras permusuhan orang-orang Quraisy terhadap kaum muslimin. Akhirnya,
kaum muslimin diizinkan Allah Ta’ala hijrah ke Habasyah. Orang-orang
Quraisy kembali berusaha menahan dan menangkap mereka namun tidak
berhasil.
Ketika semakin ganas kekejaman
yang dilancarkan kaum Quraisy terhadap kerabat mereka yang beriman,
Allah mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah untuk kedua
kalinya. Berangkatlah sekitar 80 muhajirin dan 19 muhajirah (kaum
wanita). Di negeri ini, kaum muslimin berlindung dengan aman di kerajaan
Ashimah An-Najasyi.
Ketika Quraisy mendengar hal
ini, mereka mengutus ‘Imarah bin Al-Walid dan ‘Amru bin Al-‘Ash dengan
berbagai hadiah kepada raja Najasyi agar berkenan menyerahkan kaum
muslimin ke tangan mereka.
Ketika tiba di hadapan Raja Najasyi, mereka berdua sujud kepadanya dan segera duduk di sampingnya, kemudian berkata:
“Sesungguhnya ada sekelompok
orang yang masih termasuk anak-anak paman kami. Mereka tinggal di negeri
paduka, membenci masyarakatnya dan membenci tatanan kehidupan (ajaran)
yang berlaku di masyarakat mereka.”
Raja Najasyi berkata: “Di mana mereka?”
Keduanya berkata: “Di negeri paduka, panggillah mereka!”
Kemudian datanglah beberapa
orang dari para muhajirin, di antaranya adalah Ja’far dan dia berkata:
“Aku yang menjadi juru bicara (untuk) kalian hari ini.” Mereka pun
mengikutinya.
Setibanya di hadapan Najasyi,
mereka mengucapkan salam namun tidak sujud kepadanya. Orang-orang yang
ada di sekitarnya bertanya: “Mengapa kalian tidak sujud kepada baginda
raja?”
Ja’far mengatakan: “Kami tidak sujud kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
“Mengapa demikian?” tanya Raja.
Ja’far berkata: “Sesungguhnya
Allah telah mengutus seorang Rasul kepada kami dan dia memerintahkan
kami agar tidak sujud kepada siapapun kecuali kepada Allah ‘Azza wa
Jalla. Beliau memerintahkan kami untuk menegakkan shalat dan menunaikan
zakat.”
Amru bin Al-‘Ash segara menukas: “Mereka menyelisihi paduka tentang ‘Isa bin Maryam.”
Raja Najasyi berkata: “Apa pendapat kalian tentang ‘Isa bin Maryam dan ibunya?”
Ja’far menerangkan: “Kami hanya mengatakan sebagaimana yang diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa beliau adalah kalimat-Nya dan ruh-Nya yang Dia lemparkan kepada perawan suci yang tidak pernah disentuh lelaki manapun…”
Kemudian Najasyi mengambil
sepotong kayu dan berkata: “Wahai rakyat Habasyah, para pendeta dan
rahib sekalian! Demi Allah, apa yang mereka nyatakan (tentang ‘Isa)
tidak lebih dari ini. Selamat datang, para tamu (kaum muslimin) dan
selamat datang pula yang kalian datang dari sisinya. Aku bersaksi bahwa
sesungguhnya beliau adalah Rasulullah. Dan beliaulah yang kami dapatkan
beritanya di dalam Injil, dan beliaulah Rasul yang disebutkan oleh ‘Isa
bin Maryam ‘alaihissalam sebagai berita gembira dari beliau.
Tinggallah kalian di manapun kalian suka di negeriku. Demi Allah,
kalaulah bukan karena kedudukanku sebagai raja, pastilah aku akan datang
menghadapnya sehingga akulah yang akan mengurus sandalnya.”
Kemudian beliau memerintahkan
agar hadiah-hadiah itu dikembalikan kepada kedua utusan Quraisy dan
berkata: “Demi Allah! Allah tidak menerima suap dari aku ketika
mengembalikan kerajaan ini kepadaku, dan tidak mengikuti manusia
terhadap urusanku sehingga aku harus tunduk pula kepada manusia.
Kembalikan hadiah mereka kepada keduanya, aku tidak membutuhkannya.
Usirlah utusan itu dari negeri ini.”
Akhirnya kedua utusan itu keluar dari Habasyah dalam keadaan kecewa dan terhina.
Beberapa waktu kemudian
terbetik kabar bahwa penduduk Makkah telah masuk Islam. Namun berita itu
ternyata tidak benar. Ada sesuatu yang menyebabkan tersebarnya berita
tersebut.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An-Nasai (secara ringkas) dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca surat An-Najm di Makkah, kemudian beliau sujud dan sujud pula
orang-orang yang bersamanya, kecuali seorang laki-laki tua yang hanya
mengambil segenggam kerikil atau tanah lalu mengangkatnya ke dahinya dan
berkata: ‘Cukuplah ini saja bagiku.’ Ibnu Mas’ud berkata: ‘Akhirnya aku
melihatnya mati terbunuh dalam keadaan kafir’.”
Penukil yang melihat kaum musyrikin sujud mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merasa yakin bahwa mereka telah masuk Islam dan berdamai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada lagi perselisihan di antara mereka.
Akhirnya kabar ini meluas
sampai terdengar oleh kaum muslimin yang ada di Habasyah. Merekapun
menyangka hal ini benar, maka sebagian mereka ada yang kembali,
mengharapkan kenyataan dari berita tersebut. Sebagian lagi tetap tinggal
di sana.
Namun belum lagi mereka sampai
di Makkah, mereka mendengar keganasan Quraisy bukannya berkurang,
tetapi malah menjadi-jadi. Sebagian mereka ada yang berani masuk ke
Makkah dengan jaminan perlindungan, ada pula yang tidak. Di antara yang
masuk ke Makkah adalah Ibnu Mas’ud dan dia memberi salam kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang waktu itu sedang shalat, namun tidak dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja hal ini terasa berat bagi Ibnu Mas’ud, namun kemudian beliau menjelaskan:
إِنَّ اللهَ يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ، وَإِنَّ مِمَّا أَحْدَثَ اللهُ أَنْ لاَ تَكَلَّمُوا فِيْ الصَّلاَةِ.
“Sesungguhnya Allah
berbuat sesuatu yang baru terhadap urusan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.
Dan termasuk yang baru adalah hendaknya kamu jangan berbicara di dalam
shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Quraisy Memboikot Bani Hasyim
Ibnul Qayyim menceritakan (Az-Zaad, 3/29):
Setelah Hamzah dan beberapa orang masuk Islam dan Islam tersebar, kaum
Quraisy yang mengetahui hal ini semakin bertambah kebenciannya. Akhirnya
mereka sepakat untuk memboikot Bani Hasyim, Bani ‘Abdul Muthalib dan
Bani ‘Abdi Manaf. Di mana mereka tidak akan melakukan hubungan apapun
dengan Bani Hasyim dan lain-lainnya ini sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diserahkan kepada mereka. Kemudian mereka menuliskan kesepakatan ini dan menggantungnya di Ka’bah.
Akhirnya seluruh Bani Hasyim
kecuali Abu Lahab, ikut bergabung di Syi’ib (lembah) Abu Thalib. Mereka
merasakan penderitaan hebat akibat blokade ini, sehingga terdengar dari
lembah itu tangis pilu anak-anak kecil yang kelaparan. Hal ini mereka
alami selama hampir tiga tahun.
Sementara itu di kalangan
Quraisy sendiri muncul pro dan kontra atas tindakan yang dilakukan
mereka. Orang-orang yang tidak senang dengan tindakan kejam ini berusaha
merobek surat perjanjian yang mereka buat. Di antara yang berusaha
membatalkan perjanjian itu adalah Hisyam bin ‘Amru bin Al-Harits,
Muth’im bin ‘Adi dan beberapa orang lainnya.
Allah memperlihatkan kepada
Rasul-Nya tentang apa yang dialami oleh piagam perjanjian tersebut, lalu
beliau sampaikan kepada pamannya Abu Thalib. Oleh Abu Thalib hal ini
disampaikan pula kepada Quraisy. Namun setelah ternyata benar apa yang
diceritakan oleh Rasulullah, kekafiran mereka justeru semakin bertambah.
Setelah perjanjian itu batal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun keluar bersama Bani Hasyim dari lembah itu. Beberapa bulan kemudian
Abu Thalib meninggal dunia dalam keadaan masih memeluk agama nenek
moyangnya (musyrik). Beberapa hari setelah itu menyusul pula isterinya
yang dicintai dan banyak membantu perjuangannya, Khadijah bintu
Khuwailid.
Sepeninggal keduanya, semakin
hebat pula permusuhan kaum Quraisy terhadap beliau. Beliau pun mencoba
melanjutkan dakwahnya ke Thaif.
Sesampainya di sana beliau
justru mendapati keadaan yang lebih buruk dan belum pernah beliau
dapatkan dari kaumnya. Akhirnya beliau bersama Zaid bin Haritsah kembali
dengan penuh kesedihan.
Disebutkan oleh Al-Imam Muslim (Shahih,
no 1795) dari ‘Aisyah, Zaid bin Haritsah bertanya kepada Rasulullah:
“Ya Rasulullah, apakah anda pernah mendapatkan sesuatu yang lebih hebat
dari kaummu dibandingkan dengan kejadian pada perang Uhud?”
Beliau mengatakan: “Sungguh
aku betul-betul mendapatkannya dari kaummu. Dan yang paling hebat adalah
pada peristiwa ‘Aqabah, ketika aku menghadapi kabilah Ibnu ‘Abdi Ya
Lail bin ‘Abdi Kulal. Tidak satupun mereka yang menyambut apa yang
kuinginkan. Akhirnya aku pergi dalam keadaan sangat berduka. Dan aku
tidak tersadar, kecuali di Qarni Tsa’alib, kemudian aku menengadahkan
kepala, aku lihat ada awan yang menaungiku. Aku perhatikan ternyata
Jibril, dan dia berseru: ‘Sesungguhnya Allah ‘Ázza wa Jalla telah
mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan bagaimana mereka
menolakmu. Sekarang Dia telah mengutus para malaikat penjaga gunung ini,
agar engkau perintahkan sekehendakmu terhadap orang-orang kafir itu.”
Malaikat itu berseru dan
mengucapkan salam kepada aku, kemudian dia berkata: “Ya Muhammad,
sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu terhadapmu. Aku adalah
malaikat penjaga gunung ini dan Rabb-mu telah mengutusku agar engkau
memerintahkanku apa yang kau inginkan. Kalau engkau mau aku akan
hempaskan kedua gunung ini kepada mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepadanya: “Bahkan aku berharap akan keluar dari
keturunan-keturunan mereka orang-orang yang beribadah hanya kepada Allah
satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya.”
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa kemudian beliau bersama Zaid bin Haritsah masuk ke Makkah dengan jaminan dari Muth’im bin ‘Adi.
Ditulis hadits/ dijelaskan
tentang dimakannya perjanjian oleh serangga dan hadits tentang
datangnya keturunan orang-orang yang shalih dari Thaif.
Daftar bacaan:
- Zaadul Ma’ad (jilid 3), Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
- Shahih Sirah An-Nabawiyah, Asy-Syaikh Al-Albani
- Mukhtashar Siratur Rasul, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
- Shahih Muslim
(Dinukil dari asysyariah.com/ibrah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar