Oleh Ustadz Idral
Saat Hamzah dan ‘‘Umar bin
Al-Khaththab masuk Islam, posisi kaum muslimin di Makkah bertambah kuat.
Namun upaya kaum musyrikin untuk menghentikan dakwah Rasulullah tidak
semakin kendor. Melalui paman Nabi, kaum musyrikin meminta Rasulullah
menghentikan dakwahnya. Namun upaya ini pun gagal. Akibatnya, penindasan
terhadap kaum muslimin semakin menjadi-jadi. (Lead)
Abu Jahl semakin hebat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Suatu kali dia bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan Hamzah apabila pulang
berburu tidak langsung ke rumah keluarganya, namun melakukan thawaf di
Ka’bah (lebih dulu). Dia termasuk pemuda bangsawan Quraisy dan berwatak
keras. Ketika dia melewati maula tersebut dan waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah
pulang ke rumahnya, dia (budak tersebut) berkata: “Hai Abu ‘Imarah,
seandainya kau melihat apa yang dilakukan Abul Hakam bin Hisyam terhadap
ponakanmu, yang dia lihat duduk di sini kemudian dia menyakitinya,
mencaci maki dan mencercanya. Kemudian dia pergi dan Muhammad sama
sekali tidak berbicara dengannya sepatah katapun.”
Mendengar keterangan ini,
Hamzah tidak dapat menahan marahnya, di mana juga Allah memang
menghendaki kemuliaan baginya. Hamzah segera keluar dan tidak menyapa
siapapun, padahal setiap dia melewati tempat pertemuan itu dia
senantiasa berbincang-bincang dengan orang yang ada di sana. Sekarang
dia keluar sengaja mencari Abu Jahl untuk memberi pelajaran keras
kepadanya.
Ketika Hamzah memasuki masjid
dan melihat Abu Jahl duduk dengan beberapa orang, dia sengaja
mendekatinya. Setelah dekat dengan Abu Jahl, Hamzah segera memukul
kepalanya dengan anak panah yang ada di tangannya sampai berdarah dan
berkata: “Kau berani mencaci makinya? Aku di atas agamanya, akupun
mengucapkan apa yang diucapkannya. Coba balas, kalau kau berani!”
Beberapa orang yang ada di
dekat Abu Jahl dari Bani Makhzum segera berdiri mengepung Hamzah karena
ingin membela Abu Jahl. Tapi Abu Jahl berkata: “Tinggalkan Abu ‘Imarah,
aku -demi Allah- benar-benar sudah mencaci maki keponakannya dengan
umpatan yang sangat buruk.”
Sejak itu keislaman Hamzah mulai berkembang sempurna. Dan orang-orang kafir Quraisy mulai menyadari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah kuat dan mempunyai pembela. Mereka pun mulai mengurangi penindasan mereka terhadap beliau dan para shahabatnya.
Sebagian ahli sejarah
menceritakan setelah mengucapkan kata-katanya di depan Abu Jahl itu,
Hamzah sempat menyesal dan bingung, kemudian dia berdo’a kepada Allah di
sisi Ka’bah. Akhirnya setelah merasa lega dia segera menemui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya. Dan beliaupun mendoakan agar Allah mengokohkan Hamzah dalam keyakinannya.
‘‘Umar Masuk Islam
Dikisahkan dari riwayat Anas yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi, menyebutkan:
Pada suatu hari ‘‘Umar keluar
dengan menyandang sebilah pedang. Di tengah jalan dia bertemu dengan
seorang laki-laki dari Bani Zuhrah dan dia berkata: “Akan ke mana
engkau, hai ‘‘Umar?”
‘Umar ketika itu menjawab: “Mau membunuh Muhammad.”
Laki-laki itu berkata lagi: “Bagaimana engkau dapat merasa aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah setelah membunuh Muhammad?”
‘Umar berkata pula: “Mungkin engkau sendiri sudah menukar agamamu?”
Orang itu menukas: “Maukah kau
aku tunjukkan kejadian yang lebih menakjubkan? Sesungguhnya saudarimu
dan iparmu sudah memeluk Islam dan meninggalkan agama nenek moyangmu.”
Mendengar hal ini, ‘Umar
segera berbalik dan menuju ke rumah saudari dan iparnya yang kebetulan
Khabbab sedang berada di sana. Ketika mereka mendengar suara ‘Umar, dia
segera bersembunyi di dalam rumah. ‘Umar pun masuk dan berkata: “Suara
apa yang kudengar ini?” Waktu itu mereka sedang membaca surat Thaha.
Keduanya berkata: “Tidak ada, hanya kami berbincang-bincang biasa.”
Kata ‘Umar: “Jangan-jangan kalian berdua sudah masuk Islam?”
Iparnya menjawab: “Hai ‘Umar, bagaimana jika al-haq itu ternyata bukan berada pada agamamu?”
Mendengar hal ini ‘Umar
melompat kemudian membanting dan menginjaknya dengan keras. Saudarinya
segera datang membela suaminya. Tapi ‘Umar segera memukulnya hingga
darah keluar dari wajah saudarinya itu. Wanita itu berkata dalam keadaan
sangat marah: “Apakah (kau marah) meskipun al-haq bukan berada pada agamamu? Sungguh aku bersaksi tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”
(Mungkin karena merasa iba),
‘Umar berkata: “Coba berikan tulisan apa yang ada pada kalian, aku mau
membacanya.” ‘Umar termasuk kalangan terpelajar dan pandai membaca.
Saudarinya menjawab: “Kamu itu najis. Kitab ini tidak boleh disentuh oleh orang yang najis. Pergilah bersuci!”
‘Umar pun beranjak untuk mandi. Kemudian dia mulai membaca surat Thaha. sampai kepada ayat:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya Aku adalah
Allah yang tidak ada Ilah selain Aku. Maka beribadahlah kepada-Ku dan
tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14)
‘Umar berkata: “Tunjukkanlah kepadaku di mana Muhammad!”
Ketika Khabbab mendengar hal
ini, dia segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berkata:
“Gembiralah, hai ‘Umar. Aku berharap engkaulah yang didoakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Ya Allah, muliakanlah Islam dengan ‘Umar bin Al-Khaththab atau ‘Amru bin Hisyam’.”[1]
Waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
berada di sebuah rumah di dekat bukit Ash-Shafa. ‘Umar segera berangkat
ke sana. Dan bertepatan pula di rumah itu ada Hamzah, Thalhah dan
beberapa orang lain. Hamzah berkata: “Ini ‘Umar datang. Kalau Allah
menginginkan kebaikan buat dia, maka dia selamat. Dan kalau tidak,
membunuhnya sangat mudah bagi kita.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di dalam, kemudian beliau diberitahu lalu keluar.
Begitu ‘Umar masuk, beliau
segera mencengkeram pakaian dan pedang ‘Umar sambil berkata: “Apakah
engkau belum juga mau berhenti, hai ‘Umar sampai Allah menurunkan
kehinaan bagimu sebagaimana yang dialami oleh Al-Walid bin Mughirah?!”
‘Umar segera berkata: “Aku bersaksi tidak ada ilah selain Allah dan engkau (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Ibnu Ishaq mengatakan: “Setelah ‘Umar masuk Islam, para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa mendapat pertolongan. Begitu juga halnya ketika Hamzah masuk Islam.”
Ibnu Mas’ud mengatakan: “Kami tidak pernah mampu shalat di sisi Ka’bah hingga ‘Umar masuk Islam.”
Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan: “Kami senantiasa merasa terhormat sejak ‘Umar masuk Islam.”
Melihat urusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin bertambah kokoh, mereka (orang-orang musyrikin) pun sekali lagi menemui Abu Thalib agar dia membujuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka berkata: “Hai Abu Thalib. Sesungguhnya engkau mempunyai usia
yang cukup berpengalaman, kedudukan dan kemuliaan. Dan kami pernah
meminta kepadamu agar menghentikan anak saudaramu tapi ternyata tidak
engkau lakukan. Dan demi Allah, kami tidak bisa bersabar lagi melihat
dia mencaci maki nenek moyang kami, membodoh-bodohi pemuka kami dan
mencela sesembahan kami, sampai engkau menahannya dari kami atau engkau
dan dia kami hadapi sampai salah satu dari kita binasa. (Atau
sebagaimana dikatakan mereka).
Hal ini sangat memberatkan Abu Thalib, di mana dia harus berpisah dan bermusuhan dengan kaumnya. Dia pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berkata: “Hai anak saudaraku. Kaummu menemuiku dan mengatakan inidan
itu. Sekarang tinggallah engkau dan aku saja. Dan janganlah kau bebankan
aku sesuatu yang tidak sanggup aku memikulnya.”
Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangka
barangkali pamannya telah melihat sesuatu. Dan mungkin dia sudah merasa
tidak sanggup membela beliau dan akan menyerahkannya ke tangan Quraisy.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Hai pamanku.
Demi Allah seandainya mereka letakkan matahari di tangan kananku dan
bulan di tangan kiriku agar aku menghentikan dakwah ini, maka selamanya
aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah sendiri yang akan
memenangkan agama ini atau aku binasa karenanya.”
Kemudian beliau berpaling dan
menangis, lalu berdiri. Dan ketika beliau beranjak pergi, Abu Thalib
memanggilnya: “Menghadaplah ke mari, hai anak saudaraku. Menghadaplah!”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menghadap ke
pamannya. Abu Thalib bekata: “Menghadaplah, dan katakanlah apapun yang
engkau sukai. Demi Allah aku tidak akan menyerahkan engkau kepada
siapapun selama-lamanya.”
Melihat bahwa Abu Thalib juga tidak mampu menghentikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merekapun
bertambah sengit memusuhi kaum muslimin. Setiap kabilah menangkap orang
dari pihak mereka yang masuk Islam untuk disiksa.
(Dinukil dari asysyariah.com/ibrah)
[1]HR. At-Tirmidzi kata beliau gharib dan An-Nadhr Abu ‘Umar kata Al-Imam Al-Bukhari dia munkarul hadits. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar