Oleh: Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah
Cinta
adalah sebuah kata yang manis di mulut.
Setiap orang pasti memilikinya
dan pernah merasakannya, sebab ia adalah tabiat yang terpatri dalam
sanubari setiap insan yang normal.
Jika anda berbicara tentang cinta, maka
ia laksana lautan yang tak bertepi, ataukah padang pasir yang amat
luas. Karenanya, manusia telah berbicara tentang “cinta” sejak zaman
Bapak kita yang pertama, Adam –alaihis salam.
Cinta adalah penggerak bagi segala
sesuatu yang dilakukan oleh seseorang.
Cinta adalah sesuatu yang tak
bisa dipandang secara kasatmata, namun pengaruhnya tak mungkin
dipungkiri.
Banyak orang yang mengaku memiliki
cinta dalam hati, tapi hakikatnya ia tak memilikinya.
Seorang yang
beribadah kepada Allah karena dorongan cinta kepada-Nya. Sebuah cinta
yang ada dalam hati hamba, cinta yang diiringi oleh harapan dan
kekhawatiran, ketaatan dan usaha dalam menggapai segala yang diridhoi
Sang Kekasih (Allah) serta jauh dari segala yang tidak dicintai olehnya.
Seorang yang mengesakan Allah dan mau
beribadah hanya kepada-Nya, semua itu lantaran sesuatu yang bercokol
dalam hatinya berupa kecintaan kepada Allah -Azza wa Jalla-. Bila seseorang betul-betul mencintai Allah, maka ia harus mencintai sesuatu yang dicintai oleh-Nya.
Lantaran itulah, bila ia mencintai
Allah, maka ia harus mencintai ketauhidan (pengesaan) Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- saat ia beribadah kepadanya. Disinilah anda akan mengetahui
titik dan inti hakikat kecintaan seorang hamba kepada Robb-nya, yaitu
kecintaan yang di dalamnya terdapat ittiba’ (keteladan) terhadap
perintah Allah dan ijtinaab (sikap menjauh) dari larangan-nya.
Bertolak dari hakikat keciantaan ini,
anda akan mengetahui kepalsuan cinta orang-orang kafir atau fasiq yang
senantiasa menyalahi perintah Allah dan melanggar larangan-Nya.
Subhanallah, sungguh ini adalah cinta sebatas pengakuan!!!
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ [البقرة/165]
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”. (QS. Al-Baqoroh : 165)
Sebagian ahli tafsir (seperti, Az-Zajjaj dan Ibnul Jauziy)
menjelaskan bahwa makna ayat ini, orang-orang musyrikin menyamakan
antara berhala-berhala dengan Allah dalam perkara cinta. [Lihat Zaad Al-Masir (1/156)]
Inilah kebiasaan kaum musyrikin!!
Mereka dahulu selain melakukan berbagai macam ritual dan penyembahan
kepada Allah dengan dasar cinta kepada Allah, dalam waktu sama mereka
juga melakukan berbagai macam ritual dan peribadatan kepada selain
Allah. Sebagai contoh, kaum musyrikin dahulu (dan tentunya terus sampai
sekarang) senantiasa menyekutukan Allah dalam cinta. Lihatlah, saat
mereka menetapkan bahwa hewan atau tanaman tertentu, ini untuk Allah
dan ini untuk berhala. Bila mereka memanen tanaman yang mereka
peruntukkan bagi Allah, lalu tanaman itu terjatuh dalam kelompok tanaman
yang mereka peruntukkan bagi berhala-berhala mereka, maka mereka
membiarkannya dan tidak memisahkannya seraya mereka berceloteh,
“Berhala-berhala ini lebih butuh kepadanya”.
Jika kaum musyrikin telah memanen
tanaman yang mereka peruntukkan bagi berhala-berhala, lalu tanaman itu
jatuh ke dalam bagian harta dan tanaman yang diperuntukkan bagi Allah,
maka mereka mengembalikan ke tempatnya, yaitu kepada kelompok tanaman
yang diperuntukkan bagi berhala-berhala.
Allah -Ta’ala- berfirman menceritakan perihal perkara ini,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا
ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ
بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلاَ
يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى
شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ [الأنعام/136]
“Dan mereka memperuntukkan bagi
Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah,
lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, “Ini untuk Allah
dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sesuatu yang diperuntukkan
bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; sedang sesuatu
yang diperuntukkan bagi Allah, maka sesuatu itu sampai kepada
berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu”. (QS. Al-An’aam: 136)
Kebiasaan
buruk yang terkutuk seperti itu, juga telah dilakukan oleh sebagian
masyarakat muslim yang jahil tentang agamanya yang memerintahkan untuk
men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam ibadah.
Liriklah sebagian orang
di zaman ini yang senang datang ke kuburan orang-orang yang mereka
anggap sebagai “wali” (seperti, Wali Songo, Syaikh Yusuf
dan lainnya)!! Mereka datang kesana untuk membawa persembahan dan
sesajen berupa makanan, hewan ternak, uang, telur dan berbagai macam
benda lainnya. Mereka persembahkan sebuah ibadah (yaitu, berkurban)
untuk selain Allah. Mereka amat takut kepada manusia-manusia yang mereka
angkat sendiri sebagai “wali”. Padahal belum tentu wali Allah, sebab
wali Allah adalah semua orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Nah, siapakah yang menjamin bahwa orang-orang yang mereka kultuskan
adalah orang-orang beriman dan bertaqwa??!!!
Anggaplah mereka adalah
wali Allah alias orang-orang beriman dan bertaqwa!!!
Tapi apakah semua
itu melegalkan kita mengangkatkan mereka sekedudukan dengan Allah yang
kita berikan berbagai macam persembahan kepadanya?!!
Jelas tidak boleh
demikian, wahai saudaraku!!! Sebab wajib bagi kita mengesakan Allah
dalam segala macam ibadah, dan haram menyekutukannya dengan siapapun
dalam hal itu.
[Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 360) karya Sholih bin Abdil Aziz Alusy Syaikh]
Jika kita mencintai Allah, maka seharusnya kita mengikuti perintah-Nya
(utamanya, perintah men-tauhid-kan Allah), dan menjauhi larangan-Nya
(terutama, menjauhi kemusyrikan dengan berbagai warnanya), bukan hanya
menyatakan cinta, lalu tidak dibarengi dengan ketaatan kepada-Nya.
Tapi malah kita menyekutukan Allah dengan para “wali-wali” yang lemah
seperti kita, yang tidak bersih dari segala macam dosa dan kesalahan!!!
Para nabi dan rasul saja yang bersih dari segala macam dosa, tak boleh
kita persekutukan dengan Allah -Azza wa Jalla- dalam hal ibadah.
Allah berfirman kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ
وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar: 65)
Orang-orang musyrikin dahulu selain
mencintai Allah, mereka juga mencintai sesembahan mereka. Jika mereka
berkurban di hari-hari haji untuk Allah -Azza wa Jalla-, maka hati
mereka tak tenang dan puas sampai mereka mempersembahkan qurban untuk
sesembahan mereka sebagai wujud cinta mereka kepadanya. Padahal Allah
-Azza wa Jalla- memerintahkan kita menyerahkan kurban hanya kepada-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [الأنعام/162]“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam : 162)
Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, “Allah -Ta’ala- memerintahkan beliau (Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) agar beliau mengabarkan kepada kaum musyrikin (yang telah mengibadahi selain Allah, dan menyembelih untuk selain Allah) bahwa beliau menyelisihi mereka dalam perkara itu (perkara penyembelihan), karena shalat beliau hanya untuk Allah, dan sembelihan beliau hanya untuk Allah saja semata, tak ada sekutu bagi-Nya. Sesungguhnya kaum musyrikin dahulu menyembah berhala-berhala, dan menyembelih untuk berhala-berhala itu. Lantaran itu, Allah memerintahkan beliau untuk menyelisihi mereka, serta berpaling dari mereka, dan menghadapkan segala niat dan maksud untuk memurnikan (semua ibadah) untuk Allah -Ta’ala- saja”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/381-382)]http://pesantren-alihsan.org/kebatilan-para-penyembah-makhluk.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar