Source: http://amronbadriza.blogspot.com/2012/05/cara-membuat-tab-view-di-blog.html#ixzz2EU7pdnWj
Diberdayakan oleh Blogger.

Cinta Sebatas Pengakuan


Oleh: Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah

Cinta adalah sebuah kata yang manis di mulut. 
Setiap orang pasti memilikinya dan pernah merasakannya, sebab ia adalah tabiat yang terpatri dalam sanubari setiap insan yang normal.
Jika anda berbicara tentang cinta, maka ia laksana lautan yang tak bertepi, ataukah padang pasir yang amat luas. Karenanya, manusia telah berbicara tentang “cinta” sejak zaman Bapak kita yang pertama, Adam –alaihis salam.
Cinta adalah penggerak bagi segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang.
Cinta adalah sesuatu yang tak bisa dipandang secara kasatmata, namun pengaruhnya tak mungkin dipungkiri.
Banyak orang yang mengaku memiliki cinta dalam hati, tapi hakikatnya ia tak memilikinya.
Seorang yang beribadah kepada Allah karena dorongan cinta kepada-Nya. Sebuah cinta yang ada dalam hati hamba, cinta yang diiringi oleh harapan dan kekhawatiran, ketaatan dan usaha dalam menggapai segala yang diridhoi Sang Kekasih (Allah) serta jauh dari segala yang tidak dicintai olehnya.
Seorang yang mengesakan Allah dan mau beribadah hanya kepada-Nya, semua itu lantaran sesuatu yang bercokol dalam hatinya berupa kecintaan kepada Allah -Azza wa Jalla-. Bila seseorang betul-betul mencintai Allah, maka ia harus mencintai sesuatu yang dicintai oleh-Nya.
Lantaran itulah, bila ia mencintai Allah, maka ia harus mencintai ketauhidan (pengesaan) Allah -Subhanahu wa Ta’ala- saat ia beribadah kepadanya. Disinilah anda akan mengetahui titik dan inti hakikat kecintaan seorang hamba kepada Robb-nya, yaitu kecintaan yang di dalamnya terdapat ittiba’ (keteladan) terhadap perintah Allah dan ijtinaab (sikap menjauh) dari larangan-nya.
Bertolak dari hakikat keciantaan ini, anda akan mengetahui kepalsuan cinta orang-orang kafir atau fasiq yang senantiasa menyalahi perintah Allah dan melanggar larangan-Nya. Subhanallah, sungguh ini adalah cinta sebatas pengakuan!!!
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ  [البقرة/165]
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”. (QS. Al-Baqoroh : 165)
Sebagian ahli tafsir (seperti, Az-Zajjaj dan Ibnul Jauziy) menjelaskan bahwa makna ayat ini, orang-orang musyrikin menyamakan antara berhala-berhala dengan Allah dalam perkara cinta. [Lihat Zaad Al-Masir (1/156)]
Inilah kebiasaan kaum musyrikin!! Mereka dahulu selain melakukan berbagai macam ritual dan penyembahan kepada Allah dengan dasar cinta kepada Allah, dalam waktu sama mereka juga melakukan berbagai macam ritual dan peribadatan kepada selain Allah. Sebagai contoh, kaum musyrikin dahulu (dan tentunya terus sampai sekarang) senantiasa menyekutukan Allah dalam cinta. Lihatlah, saat mereka menetapkan bahwa hewan atau tanaman tertentu, ini untuk Allah dan ini untuk berhala. Bila mereka memanen tanaman yang mereka peruntukkan bagi Allah, lalu tanaman itu terjatuh dalam kelompok tanaman yang mereka peruntukkan bagi berhala-berhala mereka, maka mereka membiarkannya dan tidak memisahkannya seraya mereka berceloteh, “Berhala-berhala ini lebih butuh kepadanya”.
Jika kaum musyrikin telah memanen tanaman yang mereka peruntukkan bagi berhala-berhala, lalu tanaman itu jatuh ke dalam bagian harta dan tanaman yang diperuntukkan bagi Allah, maka mereka mengembalikan ke tempatnya, yaitu kepada kelompok tanaman yang diperuntukkan bagi berhala-berhala.
Allah -Ta’ala- berfirman menceritakan perihal perkara ini,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلاَ يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ  [الأنعام/136]
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka sesuatu yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; sedang sesuatu yang diperuntukkan bagi Allah, maka sesuatu itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu”. (QS. Al-An’aam: 136)

Kebiasaan buruk yang terkutuk seperti itu, juga telah dilakukan oleh sebagian masyarakat muslim yang jahil tentang agamanya yang memerintahkan untuk men-tauhid-kan (mengesakan) Allah dalam ibadah.
 Liriklah sebagian orang di zaman ini yang senang datang ke kuburan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali” (seperti, Wali Songo, Syaikh Yusuf dan lainnya)!! Mereka datang kesana untuk membawa persembahan dan sesajen berupa makanan, hewan ternak, uang, telur dan berbagai macam benda lainnya. Mereka persembahkan sebuah ibadah (yaitu, berkurban) untuk selain Allah. Mereka amat takut kepada manusia-manusia yang mereka angkat sendiri sebagai “wali”. Padahal belum tentu wali Allah, sebab wali Allah adalah semua orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. 
 Nah, siapakah yang menjamin bahwa orang-orang yang mereka kultuskan adalah orang-orang beriman dan bertaqwa??!!! 
Anggaplah mereka adalah wali Allah alias orang-orang beriman dan bertaqwa!!!
Tapi apakah semua itu melegalkan kita mengangkatkan mereka sekedudukan dengan Allah yang kita berikan berbagai macam persembahan kepadanya?!! 
Jelas tidak boleh demikian, wahai saudaraku!!! Sebab wajib bagi kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah, dan haram menyekutukannya dengan siapapun dalam hal itu.

[Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 360) karya Sholih bin Abdil Aziz Alusy Syaikh]
Jika kita mencintai Allah, maka seharusnya kita mengikuti perintah-Nya (utamanya, perintah men-tauhid-kan Allah), dan menjauhi larangan-Nya (terutama, menjauhi kemusyrikan dengan berbagai warnanya), bukan hanya menyatakan cinta, lalu tidak dibarengi dengan ketaatan kepada-Nya. 

Tapi malah kita menyekutukan Allah dengan para “wali-wali” yang lemah seperti kita, yang tidak bersih dari segala macam dosa dan kesalahan!!! 
Para nabi dan rasul saja yang bersih dari segala macam dosa, tak boleh kita persekutukan dengan Allah -Azza wa Jalla- dalam hal ibadah.
Allah berfirman kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar: 65)

Orang-orang musyrikin dahulu selain mencintai Allah, mereka juga mencintai sesembahan mereka. Jika mereka berkurban di hari-hari haji untuk Allah -Azza wa Jalla-, maka hati mereka tak tenang dan puas sampai mereka mempersembahkan qurban untuk sesembahan mereka sebagai wujud cinta mereka kepadanya. Padahal Allah -Azza wa Jalla- memerintahkan kita menyerahkan kurban hanya kepada-Nya,
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ  [الأنعام/162]
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam : 162)

Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, “Allah -Ta’ala- memerintahkan beliau (Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) agar beliau mengabarkan kepada kaum musyrikin (yang telah mengibadahi selain Allah, dan menyembelih untuk selain Allah) bahwa beliau menyelisihi mereka dalam perkara itu (perkara penyembelihan), karena shalat beliau hanya untuk Allah, dan sembelihan beliau hanya untuk Allah saja semata, tak ada sekutu bagi-Nya. Sesungguhnya kaum musyrikin dahulu menyembah berhala-berhala, dan menyembelih untuk berhala-berhala itu. Lantaran itu, Allah memerintahkan beliau untuk menyelisihi mereka, serta berpaling dari mereka, dan menghadapkan segala niat dan maksud untuk memurnikan (semua ibadah) untuk Allah -Ta’ala- saja”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/381-382)]
http://pesantren-alihsan.org/kebatilan-para-penyembah-makhluk.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates addiinradio by Ourblogtemplates.com 2008

Kembali ke Atas