Jika kita menelisik kehidupan beragama
dari kaum muslimin di Indonesia, atau negeri lainnya, maka kita akan
banyak menemukan bukti dan fenomena yang menguatkan bahwa kehidupan
beragama kita masih sebatas perasaan. Padahal agama bukanlah perasaan,
hawa nafsu dan akal-akalan semata. Agama adalah wahyu dan petunjuk
datang dari langit sana.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ
جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا
آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ
جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
[المائدة/]48
“Dan Kami telah turunkan kepadamu
Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
kitab-kitab yang lain itu. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (QS.
Al-Maa’idah : 48)
Al-Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir
-rahimahullah- berkata, “Maksudnya, janganlah engkau berpaling dari
kebenaran yang Allah perintahkan kepadamu, menuju keinginan-keinginan
dari orang-orang jahil lagi celaka itu”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir
(3/128), cet. Dar Thoybah, 1420 H]
Ini menunjukkan bahwa seorang dalam
beragama tidaklah mengikuti keinginan dan perasaan manusia, tapi
mengikuti wahyu dari Allah -Azza wa Jalla- dan petunjuk Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- yang bersumber dari bimbingan Allah.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
َلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ
وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ
يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ
حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ
“Ingatlah sungguh aku telah diberi Al-Kitab, dan semisalnya
bersamanya. Ingatlah, hampir-hampir akan ada seseorang yang kenyang di
atas ranjangnya seraya berkata, “Berpeganglah saja dengan Al-Qur’an ini.
Karenanya, apa saja yang kalian temukan di dalamnya berupa sesuatu
yang halal, maka halalkan, dan apa saja yang kalian temukan di dalamnya
beruapa sesuatu yang haram, maka haramkanlah”. [HR. Abu Dawud (no.4606). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Al-Misykah (163)]
Para pembaca yang budiman, jadi seorang
muslim hendaknya dalam beragama, ia mengikuti petunjuk wahyu, baik yang
terdapat dalam Al-Qur’an, maupun hadits (sabda) Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-, bukan mengikuti perasaan dan hawa nafsu, tanpa
bimbingan wahyu.
Perasaan dan hawa nafsu adalah tabiat
pada manusia. Perasaan terkadang mendorong seseorang ke arah kebaikan
dan terkadang pula kepada keburukan. Karenanya, syariat datang
menjelaskan segala sesuatu agar perasaan dapat mengikuti kebaikan yang
ditunjukkan oleh wahyu. Perasaan, akal dan hawa nafsu bukanlah pemimpin,
pengarah dan teladan bagi manusia dalam beragama. Perasaan, akal dan
hawa nafsu harus mengikuti wahyu.
Disinilah kerusakan sebagian kaum
muslimin saat ia beragama, maka ia selalu menjadikan perasaan dan
akalnya sebagai penentu dan pemimpin, bukan wahyu sebagai penentu dan
pemutus perkara!! Akhirnya, Al-Qur’an ia kesampingkan, bahkan terkadang
ia buang di balik punggungnya.
Sebagai contoh, lihatlah mereka yang
lebih memuliakan hukum-hukum Belanda, Perancis, Amerika, Jerman dan
kawanannya dari kalangan orang-orang yang Allah sesatkan hatinya.
Perasaan mereka lebih senang mengikuti hukum, atau undang-undang buatan
manusia lemah, bahkan kafir, walaupun jelas-jelas banyak kekurangannya
harus direvisi sepanjang abad!! Manakah orang-orang yang mau
mengagungkan Al-Qur’an dan mengikutinya. Mengapakah kita meniru kaum
jahiliah yang selalu mencari petunjuk dan penentu hidup dari selain
wahyu Allah?! Jangan-jangan kita terkena firman Allah,
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ
عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ
أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ
كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
[المائدة/49-50]
“Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari
hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maa’idah : 49-50)
Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy
Al-Yamaniy -rahimahullah- berkata, “Di dalam ayat ini terdapat larangan
bagi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dari mengikuti
keinginan-keinginan ahli Kitab, lalu berpaling dari kebenaran yang Allah
turunkan kepada beliau. Karena, pemeluk setiap agama menginginkan agar
segala urusan berdasarkan sesuatu yang mereka pijaki dan sesuatu yang
mereka warisi dari nenek moyangnya, walaupun urusan itu batil, mansukh
(terhapus hukumnya), ataukah telah diselewengkan dari hukum yang pernah
Allah turunkan kepada para nabi sebagaimana yang terjadi pada perkara
rajam (bagi pezina yang sudah nikah) dan sejenisnya diantara
perkara-perkara yang telah mereka selewengkan dari kitab-kitab Allah”.
[Lihat Fathul Qodir Al-Jami' baina Fannai Ar-Riwayah wa ad-Diroyah min
Ilm At-Tafsir (2/70)]
Disinilah kita heran dengan sebagian
kaum muslimin yang amat bangga dan senang mengadopsi hukum-hukum
manusia kafir, entah dari kalangan Ahlul Kitab atau selainnya, lalu
membuang Al-Qur’an di balik punggung mereka. Padahal semua hukum yang
mereka tetapkan hanyalah berdasarkan pengalaman yang didasari oleh
perasaan, akal dan hawa nafsu semata. Kalaupun ada diantaranya mereka
dasari dengan hukum-hukum Taurat atau Injil, tapi ketahuilah semua
hukum-hukum itu telah dihapus oleh Al-Qur’an dan diganti dengan yang
lebih baik. Kalau pun mereka bersikeras bahwa itu juga kebaikan, maka
kita katakan bahwa tak ada kebaikan, melainkan Al-Qur’an beserta Sunnah
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah menjelaskannya. Ketahuilah
bahwa hukum-hukum buatan manusia amat banyak memiliki kekurangan yang
harus dibenahi sana-sini dan dihapus atau diubah. Adapun hukum Allah
yang tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia sudah paten dan siap
menjawab segala tantangan zaman, sebab ia cocok di segala tempat dan
zaman. Kalau tak percaya, buktikan saja melalui kajian dan penerapan.
Jangan tertipu dengan propaganda para pejuang hukum-hukum jahiliah.
Gambaran lain dari sisi keberagamaan
kita yang masih dilandasi oleh perasaan, adanya sekelompok kaum
muslimin yang suka mengada-adakan ajaran baru alias bid’ah dalam agama.
Bid’ah (penemuan baru) dalam perkara dunia selama bermanfaat dan tak
membawa hal negatif, maka ia terpuji. Adapun bid’ah dalam perkara agama
(yakni, ajaran yang baru ditemukan) yang tak pernah diajarkan dan
dicontohkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka semuanya
adalah keburukan dan kesesatan, walapun akal dan perasaan kita
memandangnya sebagai perkara yang baik. Bid’ah dalam beragama,
misalnya: perayaan Maulid, Isra’-Mi’raj, Nuzulul Qur’an, perayaan tahun
baru (Masehi atau Hijriyyah), dzikir berjama’ah. Semua ini adalah
ajaran baru yang tak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-. Tapi anehnya, para kiai dan ustadz berusaha mengutak-atik
mencari dalil dalam membenarkannya agar dapat mengikuti selera dan
perasaan masyarakat yang senang kepada bid’ah-bid’ah seperti itu.
Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengadakan suatu
perkara (baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk
darinya, maka perkara itu tertolak”. [HR.Al-Bukhary dalam Shahih-nya
(2697) dan Muslim dalam Shahih-nya (1718)]
Bahkan beliau bersabda mencap sesat semua bid’ah dalam perkara agama,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Wasapadalah kalian terhadap perkara
yang diada-adakan, karena semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah
dan semua bid’ah adalah sesat”. [HR. Abu Dawud (4609). Di-shohih-kan
oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2735)]
Perkara Maulid –misalnya-, ia perkara
baru diada-adakan orang-orang belakangan berdasarkan perasaan mereka
belaka, bukan didasari oleh dalil. Nanti belakangan sejak maulid
diperingati oleh banyak orang, barulah para pejuang maulid mencari-cari
dalil tentang keabsahannya. Walaupun semua dalil itu tak ada sedikitpun
padanya sisi yang menguatkan mereka.
Jika kita mau merujuk kepada sejarah,
maka maulid itu diada-adakan oleh orang-orang menyimpang ada tahun 362 H. Tidak ada seorang pun yang mendahului
mereka dalam merayakan maulid ini. Kemudian, mereka diikuti oleh Raja
Damaskus, Al-Muzhaffar sekitar abad ke tujuh. [Lihat Siyar A'lam
An-Nubalaa' (20/365/no. 253)]
Perayaan maulid merupakan perkara baru
dalam agama, karenanya para ulama dari zaman ke zaman menampakkan
pengingkaran terhadap acara tersebut. Diantara ulama yang mengingkari
perayaan maulid (namun ini bukan pembatasan karena terbatasnya halaman):
Al-Imam Tajuddin Abu Hafsh ‘Umar bin
‘Ali Al-Lakhmy Al-Fakihaniy (wafat 734 H) -rahimahullah- berkata, “Saya
tidak mengetahui bagi perayaan maulid ini ada asalnya (baca:
landasannya) dari Al-Kitab, dan tidak pula dari Sunnah; tidak pernah
dinukil pengamalannya dari seorang pun di kalangan para ulama ummat ini
yang merupakan panutan dalam agama, yang berpegang teguh dengan
jejak-jejak para ulama terdahulu. Bahkan ini adalah bid’ah yang
dimunculkan oleh orang-orang yang tidak punya pekerjaan (baca : kurang
kerjaan) dan bid’ah ini juga merupakan selera nafsu yang amat
diperhatikan oleh orang-orang yang suka makan”.
[Lihat Al-Mawrid fii
'Amalil Maulid (hal. 8-9) karya Al-Fakihaniy, cet. Darul Ashimah, 1419
H]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar