11 Maret 2013 oleh Admin addiinradio
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ نَاساً مِنْ أَصْحَابِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ
بِاْلأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ،
وَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ : أَوَ لَيْسَ قَدْ
جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا يَتَصَدَّقُوْنَ : إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ
تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ
صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ
صَدَقَةً وَنَهْيٍ عَن مُنْكَرٍ صَدَقَةً وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً
قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ
لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ
أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ
كَانَ لَهُ أَجْرٌ .
[رواه مسلم]
[رواه مسلم]
Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu juga, bahwa beberapa orang dari
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah
membawa pahala (yang banyak), mereka shalat bagaimana kami shalat,
mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan
kelebihan harta-harta mereka.” Beliau bersabda, “Bukankah Allah
subhanahu wata’ala menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian
sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir
adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah
sedekah, memerintahkan hal yang ma’ruf adalah sedekah. Dan salah seorang
dari kalian melampiaskan syahwatnya kepada istrinya adalah sedekah.”
Mereka bertanya, “Salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya,
apakah pada hal itu ia akan mendapat balasan pahala?” Beliau balik
bertanya, “Bagaimana menurut pendapat kalian jika ia melampiaskan
syahwatnya pada hal yang haram, apakah ia akan terkena dosa? Maka
demikian pula jika ia melampiaskan pada hal yang halal, maka ia akan
mendapatkan pahala.” (Shahih dikeluarkan oleh Muslim di dalam [Az
Zakat/1006/Abdul Baqi’])
Penjelasan:
Hadits ke-25, yakni berkaitan dengan hadits qudsi yang sebelumnya,
bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah dan mereka ini adalah
orang-orang faqir, bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, orang-orang
kaya telah membawa banyak pahala, -yakni hanya mereka saja yang
membawanya- mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa
sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bersedekah dengan kelebihan
harta-harta mereka.” Meeka dengan orang-orang miskin sama-sama
mengerjakan shalat dan puasa, akan tetapi orang-orang kaya tersebut
bersedekah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukankah
Allah telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang dapat kalian
sedekahkan?. . . . dan seterusnya.”
Ketika orang-orang faqir itu mengadukan kepada Nabi bahwa orang-orang
kaya membawa banyak pahala, mereka shalat sebagaimana mereka shalat,
mereka berpuasa sebagaimana mereka berpuasa, dan mereka pun bersedekah
dengan kelebihan harta-harta mereka, maksudnya bahwa sahabat-sahabat
yang faqir itu tidak dapat bersedekah. Maka Nabi menjelaskan kepada
mereka sedekah yang sanggup mereka kerjakan. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Bukankah Allah subhanahu wata’ala menjadikan bagi
kalian apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih
adalah sedekah,. . . dan seterusnya.” Yakni, jika seseorang mengucapkan
subhanallah maka itu adalah sedekah, jika seseorang mengucapkan Allahu
akbar maka itu adalah sedekah, jika seseorang mengucapkan alhamdulillah
maka itu adalah sedekah, jika seseorang mengucapkan laailaaha illallahu
maka itu adalah sedekah.
“Memerintahkan yang ma’ruf.” Yakni, jika ia menyuruh seseorang untuk melakukan amalan ketaatan, maka itu adalah sedekah.
“Melarang hal yang mungkar.” Yakni, jika ia melarang seseorang dari kemungkaran, maka itu adalah sedekah.
“Dan salah seorang dari kalian melampiaskan syahwatnya kepada
istrinya adalah sedekah.” Yakni, jika seseorang berjimak dengan
istrinya, hal itu adalah sedekah. Amalan-amalan itu semuanya bisa
dilakukan oleh orang-orang yang faqir. Mereka berkata, “Wahai
Rasulullah, salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya, apakah
ia pun akan mendapatkan pahala dalam hal itu?” Mereka mengucapkan
kalimat ini untuk meyakinkan sabda beliau tadi, bukan untuk menunjukkan
keraguan dalam hal tersebut, karena mereka yakin betul bahwa apa yang
beliau sabdakan pasti benarnya. Akan tetapi, mereka ingin meyakinkan
lagi hal itu sehingga mereka bertanya, “Ya Rasulullah, salah seorang di
antara kami melampiaskan syahwatnya, apakah dalam hal itu ia akan
memperoleh balasan pahala?” Yang mirip dengan pertanyaan ini adalah
ucapan Nabi Zakaria,
قَالَ رَبِّ أَنَّىَ يَكُونُ لِي غُلاَمٌ وَقَدْ بَلَغَنِيَ الْكِبَرُ وَامْرَأَتِي عَاقِرٌ
“Bagaimana aku bisa mendapatkan seorang anak, aku telah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul.” (Ali Imran: 40)
Beliau bermaksud untuk meyakini dan memantapkan lagi hal itu, padahal
beliau mempercayai. Beliau bertanya, “Bagaimana menurut pendapat kalian
jika ia melampiaskan syahwatnya pada hal yang haram, apakah ia akan
terkena dosa?” Jawabannya: Ya, mereka akan terkena dosa. Beliau berkata,
“Begitu pula jika ia melampiaskan dalam hal yang halal, maka ia akan
mendapatkan pahala.” Ini adalah qiyas yang dinamakan dengan kias ‘aks
(kebalikan), maksudnya sebagaimana ia akan mendapatkan dosa dalam hal
yang haram, demikian pula ia akan mendapatkan pahala dalam hal yang
halal. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Apabila ia melampiaskannya pada hal yang halal, maka ia pun akan
mendapatkan pahala.”
Hadits ini mengandung beberapa faedah:
1. Antusias para sahabat untuk bersegera dalam kebaikan.
2. Jika seseorang menyebutkan sesuatu, seyogyanya ia menyebutkan
latar belakangnya, karena para sahabat ketika mereka mengatakan,
“Orang-orang kaya membawa. . . .”, mereka menerangkan latar
belakangucapan ini, mereka mengatakan, “Mereka shalat sebagaimaan kami
shalat. . . . dan seterusnya.”
3. Segala bentuk ucapan yang mendekatkan diri kepada Allah adalah
sedekah, seperti: tasbih, tahmid, takbir, tahlil, al amr bil ma’ruf wa
nahyi ‘anil mungkar (memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran). Jadi semua ucapan itu adalah sedekah.
4. Anjuran untuk memperbanyak dzikir tersebut. Karena setiap patah
kata dari kalimat dianggap sebagai sedekah yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah.
5. Mencukupkan pada perkara yang halal dari yang haram, menjadikan
perkara yang halal itu sebagai pendekatan (diri) kepada Allah dan
sedekah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Dan salah
seorang dari kalian melampiaskan syahwatnya kepada istrinya adalah
sedekah.”
6. Bolehnya meminta kemantapan dalam hal pemberitaan, sekalipun hal
itu disampaikan oleh seorang yang jujur. Berdasarkan ucapan mereka,
“Salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya, apakah ia pun
akan menadapatkan pahala dari hal itu?”
7. Baiknya pola pengajaran Rasulullah, yaitu dengan mengucapkan
sabdanya dalam bentuk pertanyaan, sehingga orang yang diajak bicara
merasa puas dan tenang dengannya. Termasuk dalam hal ini adalah sabda
Nabi, ketika beliau ditanya tentang (hukum) menjual kurma basah dan
kurma kering, apakah (timbangannya) berkurang jika telah mengering?
Mereka menjawab: ya, maka beliau melarang dari hal itu. (Shahih
dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam [Al Buyu’/3359], At Tirmidzi di
dalam [Al Buyu’/1225], An Nasa’i di dalam [Al Buyu’/4545-4546/Abu
Ghuddah], Ibnu Majah di dalam [Al Tijaraat/2264])
(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL http: //ulamasunnah.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar