Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 012
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)
Syariat memiliki aturan bahwa wanita adalah makhluk yang memiliki
kewajiban untuk menutup keindahan yang ada pada dirinya ketika
berhadapan dengan laki-laki. Namun tidak semua laki-laki diharamkan
untuk melihat seorang wanita. Mereka adalah para mahram bagi wanita
tersebut. Sebatas mana seorang wanita boleh manampakkan diri di hadapan
mahramnya?
Dimaklumi, wanita diciptakan senang berhias dan tumbuh dalam keadaan
berperhiasan. Perhiasannya ini ada yang berasal dari dirinya (tubuhnya)
sendiri yang merupakan asal penciptaannya seperti rambut, wajah dan
semisalnya. Adapula perhiasan yang diambilnya dari luar dirinya kemudian
dikenakan untuk memperindah diri seperti anting-anting, cincin, gelang
kaki, pewarna kuku (daun pacar) dan selainnya. Kedua jenis perhiasan ini
tidak boleh diperlihatkan di hadapan lelaki yang bukan mahram (ajnabi)
karena syariat menetapkan hanya pihak-pihak tertentu yang diperkenankan
melihat perhiasan si wanita sebagaimana tersebut dalam ayat Allah Subhanahu wata'ala:
“Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasan mereka
kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah
mertua mereka, atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra
suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara
laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara
perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang
mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita
atau anak laki-laki kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur:
31)
Perhiasan yang boleh ditampakkan di hadapan mahram
Suami, ayah, kakek dan seterusnya ke atas, bapak mertua, kakek mertua dan seterusnya ke atas, anak laki-laki, cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah, anak laki-laki suami, cucu laki-laki suami dan seterusnya ke bawah, saudara laki-laki baik seayah seibu ataupun seayah saja atau seibu saja, keponakan laki-laki, cucu keponakan dan seterusnya ke bawah,1 wanita, budak yang dimiliki, laki-laki yang tidak bersyahwat terhadap wanita dan anak kecil merupakan pihak-pihak yang dibolehkan melihat perhiasan seorang wanita dengan batasan yang ditetapkan oleh syariat, sama saja apakah perhiasan itu merupakan bagian dari tubuhnya (asal penciptaannya) atau dari luar dirinya.
Abu Salamah bin Abdirrahman berkata: “Aku dan saudara laki-laki Aisyah sepersusuan masuk menemui Aisyah. Lalu saudaranya ini bertanya tentang tata cara mandi janabahnya Rasulullah r. Maka Aisyah pun meminta sebuah bejana yang berisi air sekitar 1 sha`2, lalu Aisyah mandi dan menuangkan air di atas kepalanya sementara antara kami dan Aisyah ada hijab.” (HR. Al-Bukhari no. 251 dan Muslim no. 320)
Al-Qadhi ‘Iyyadh t berkata: “Dzahir hadits ini menunjukkan keduanya melihat apa yang dilakukan Aisyah pada kepalanya dan bagian atas tubuhnya dalam batasan yang halal bagi mahram untuk memandangnya karena Aisyah adalah bibi susu Abu Salamah. Ia disusui oleh Ummu Kultsum bintu Abi Bakar saudara perempuan Aisyah. Aisyah hanya menutupi bagian bawah tubuhnya yang tidak halal bagi mahram untuk melihatnya.” Al-Qadhi juga menyatakan: “Seandainya keduanya tidak menyaksikan hal itu dan tidak melihatnya maka tidak ada maknanya Aisyah meminta air dan thaharah di hadapan keduanya, karena bila Aisyah melakukan hal itu semua dalam keadaan tertutup dari keduanya niscaya hal itu adalah kesia-siaan. Adapun penutup yang dikenakan Aisyah adalah untuk menutupi bagian bawah tubuhnya yang tidak halal bagi mahram untuk melihatnya.” (Fathul Bari 1/456, Syarah Shahih Muslim 4/4)
Fathimah putri Rasulillah r pernah datang menemui ayahnya untuk meminta seorang pembantu guna meringankan pekerjaannya sementara ia menderita lecet pada tangannya karena sering digunakan untuk menggiling tepung. Namun Fathimah x tidak berjumpa dengan sang ayah, akhirnya ia menceritakan keperluannya kepada Aisyah x. Ketika Rasulullah r datang, Aisyah pun menceritakan keperluan Fathimah. Ali bin Abi Thalib z, suami Fathimah, bertutur: “Beliau r pun mendatangi kami, ketika itu kami telah berbaring di pembaringan. Aku bermaksud bangkit namun beliau berkata: “Tetaplah di tempatmu.” Kemudian beliau duduk di antara kami hingga aku merasakan dinginnya kedua telapak kaki beliau di dadaku. Beliau pun bersabda:
Suami, ayah, kakek dan seterusnya ke atas, bapak mertua, kakek mertua dan seterusnya ke atas, anak laki-laki, cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah, anak laki-laki suami, cucu laki-laki suami dan seterusnya ke bawah, saudara laki-laki baik seayah seibu ataupun seayah saja atau seibu saja, keponakan laki-laki, cucu keponakan dan seterusnya ke bawah,1 wanita, budak yang dimiliki, laki-laki yang tidak bersyahwat terhadap wanita dan anak kecil merupakan pihak-pihak yang dibolehkan melihat perhiasan seorang wanita dengan batasan yang ditetapkan oleh syariat, sama saja apakah perhiasan itu merupakan bagian dari tubuhnya (asal penciptaannya) atau dari luar dirinya.
Abu Salamah bin Abdirrahman berkata: “Aku dan saudara laki-laki Aisyah sepersusuan masuk menemui Aisyah. Lalu saudaranya ini bertanya tentang tata cara mandi janabahnya Rasulullah r. Maka Aisyah pun meminta sebuah bejana yang berisi air sekitar 1 sha`2, lalu Aisyah mandi dan menuangkan air di atas kepalanya sementara antara kami dan Aisyah ada hijab.” (HR. Al-Bukhari no. 251 dan Muslim no. 320)
Al-Qadhi ‘Iyyadh t berkata: “Dzahir hadits ini menunjukkan keduanya melihat apa yang dilakukan Aisyah pada kepalanya dan bagian atas tubuhnya dalam batasan yang halal bagi mahram untuk memandangnya karena Aisyah adalah bibi susu Abu Salamah. Ia disusui oleh Ummu Kultsum bintu Abi Bakar saudara perempuan Aisyah. Aisyah hanya menutupi bagian bawah tubuhnya yang tidak halal bagi mahram untuk melihatnya.” Al-Qadhi juga menyatakan: “Seandainya keduanya tidak menyaksikan hal itu dan tidak melihatnya maka tidak ada maknanya Aisyah meminta air dan thaharah di hadapan keduanya, karena bila Aisyah melakukan hal itu semua dalam keadaan tertutup dari keduanya niscaya hal itu adalah kesia-siaan. Adapun penutup yang dikenakan Aisyah adalah untuk menutupi bagian bawah tubuhnya yang tidak halal bagi mahram untuk melihatnya.” (Fathul Bari 1/456, Syarah Shahih Muslim 4/4)
Fathimah putri Rasulillah r pernah datang menemui ayahnya untuk meminta seorang pembantu guna meringankan pekerjaannya sementara ia menderita lecet pada tangannya karena sering digunakan untuk menggiling tepung. Namun Fathimah x tidak berjumpa dengan sang ayah, akhirnya ia menceritakan keperluannya kepada Aisyah x. Ketika Rasulullah r datang, Aisyah pun menceritakan keperluan Fathimah. Ali bin Abi Thalib z, suami Fathimah, bertutur: “Beliau r pun mendatangi kami, ketika itu kami telah berbaring di pembaringan. Aku bermaksud bangkit namun beliau berkata: “Tetaplah di tempatmu.” Kemudian beliau duduk di antara kami hingga aku merasakan dinginnya kedua telapak kaki beliau di dadaku. Beliau pun bersabda:
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi
kalian daripada seorang pembantu?” Apabila kalian mendatangi tempat
tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali,
Subhanallah 33 kali dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi
kalian daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari no.6318 dan Muslim
no. 2727)
Hadits di atas dalam riwayat Ubaidah bin Amr dari Ali bin Abi Thalib z yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban ada tambahan: “Maka beliau r mendatangi kami sementara kami telah (berbaring di tempat tidur dengan) mengenakan selimut, jika kami memakainya dengan membujur keluar darinya (tidak tertutup) lambung kami (bagian samping tubuh) dan bila kami mengenakannya dengan melintang keluar darinya (tidak tertutup) kepala dan telapak kaki kami.” Dan dalam riwayat As-Saib: “Maka Ali dan Fathimah kembali lalu Nabi r mendatangi keduanya sementara keduanya telah masuk ke dalam selimut yang jika ditutupkan ke kepala akan tersingkap telapak kaki keduanya dan bila ditutupkan ke telapak kaki niscaya tersingkap kepala keduanya.” (Fathul Bari, 11/124). Riwayat Ibnu Hibban ini menunjukkan bolehnya wanita membuka kepala dan telapak kakinya di hadapan ayahnya.
Ketika Aflah saudara Abil Quais bapak susu Aisyah x3 meminta izin untuk bertemu Aisyah setelah turunnya ayat hijab, Aisyah enggan mengizinkannya. Maka di saat Rasulullah r datang Aisyah pun menceritakan hal ini, maka beliau memerintahkan Aisyah untuk mengizinkan Aflah. (HR. Al-Bukhari no. 5239)
Dalam riwayat Muslim (no. 1445), Rasulullah r bersabda:
Hadits di atas dalam riwayat Ubaidah bin Amr dari Ali bin Abi Thalib z yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban ada tambahan: “Maka beliau r mendatangi kami sementara kami telah (berbaring di tempat tidur dengan) mengenakan selimut, jika kami memakainya dengan membujur keluar darinya (tidak tertutup) lambung kami (bagian samping tubuh) dan bila kami mengenakannya dengan melintang keluar darinya (tidak tertutup) kepala dan telapak kaki kami.” Dan dalam riwayat As-Saib: “Maka Ali dan Fathimah kembali lalu Nabi r mendatangi keduanya sementara keduanya telah masuk ke dalam selimut yang jika ditutupkan ke kepala akan tersingkap telapak kaki keduanya dan bila ditutupkan ke telapak kaki niscaya tersingkap kepala keduanya.” (Fathul Bari, 11/124). Riwayat Ibnu Hibban ini menunjukkan bolehnya wanita membuka kepala dan telapak kakinya di hadapan ayahnya.
Ketika Aflah saudara Abil Quais bapak susu Aisyah x3 meminta izin untuk bertemu Aisyah setelah turunnya ayat hijab, Aisyah enggan mengizinkannya. Maka di saat Rasulullah r datang Aisyah pun menceritakan hal ini, maka beliau memerintahkan Aisyah untuk mengizinkan Aflah. (HR. Al-Bukhari no. 5239)
Dalam riwayat Muslim (no. 1445), Rasulullah r bersabda:
“Janganlah engkau berhijab darinya sebab apa yang diharamkan karena nasab (keturunan) juga haram karena penyusuan.”
Aisyah x pernah memperlihatkan bagaimana tata cara wudhu Rasulullah r di hadapan Abu Abdillah Salim Sablan4, dan Salim ini biasa bertanya langsung di hadapan Aisyah bila ada masalah yang tidak jelas baginya. Demikian sampai akhirnya Salim merdeka dari statusnya sebagai budak dan setelah itu Aisyah pun mengenakan hijab di hadapannya, hingga kata Salim: “Aku tidak pernah lagi melihat Aisyah setelah hari itu.” (HR. An-Nasai no. 99, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Albani t dalam Shahih An-Nasai no. 97)
Anas bin Malik z berkisah :
Aisyah x pernah memperlihatkan bagaimana tata cara wudhu Rasulullah r di hadapan Abu Abdillah Salim Sablan4, dan Salim ini biasa bertanya langsung di hadapan Aisyah bila ada masalah yang tidak jelas baginya. Demikian sampai akhirnya Salim merdeka dari statusnya sebagai budak dan setelah itu Aisyah pun mengenakan hijab di hadapannya, hingga kata Salim: “Aku tidak pernah lagi melihat Aisyah setelah hari itu.” (HR. An-Nasai no. 99, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Albani t dalam Shahih An-Nasai no. 97)
Anas bin Malik z berkisah :
“Nabi r mendatangi Fathimah bersama seorang budak yang beliau
hadiahkan kepada Fathimah. Ketika itu Fathimah mengenakan pakaian
(pendek) yang bila ia tutupkan ke kepalanya, pakaian itu tidak mencapai
kedua kakinya. Dan jika ia tutupkan ke kedua kakinya maka tidak menutupi
kepalanya. Tatkala Nabi r melihat apa yang dijumpai5 Fathimah, beliau
bersabda: “Tidak apa-apa bagimu (untuk menampakkan kepala dan kedua
kaki, pen) karena yang ada di hadapanmu hanyalah ayah dan budakmu.” (HR.
Abu Dawud no. 3582, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jamiu’sh
Shahih, 4/313)
Asy-Syaikh Muqbil t membawakan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami‘us Shahih dan beliau beri judul Yajuzu lil Mar’ati An Taksyifa Ra’saha wa Saqaiha ‘inda Abiha wa Mamlukiha idza Uminatil Fitnah (Boleh bagi seorang wanita membuka kepala/ rambutnya dan dua betisnya di hadapan ayah dan budak laki-lakinya apabila aman dari fitnah).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya budak laki-laki melihat majikan wanitanya. Dan budak ini memang termasuk mahram si wanita sehingga ia boleh berduaan dengannya dan safar bersamanya serta boleh memandangnya dalam batasan yang diperkenankan untuk dilihat oleh mahramnya.” (Tahdzibus Sunan, dengan catatan kaki ‘Aunul Ma’bud, 11/111)
Dari beberapa hadits yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa boleh bagi seorang wanita untuk menampakkan kepala/rambut, leher, anggota-anggota wudhu, betis dan kedua telapak kakinya –beserta perhiasan dari luar tubuhnya yang ia letakkan pada bagian-bagian tubuh tersebut– di depan ayah, saudara laki-laki, paman, keponakan laki-laki dan mahramnya yang lain.
Asy-Syaikh Muqbil t membawakan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami‘us Shahih dan beliau beri judul Yajuzu lil Mar’ati An Taksyifa Ra’saha wa Saqaiha ‘inda Abiha wa Mamlukiha idza Uminatil Fitnah (Boleh bagi seorang wanita membuka kepala/ rambutnya dan dua betisnya di hadapan ayah dan budak laki-lakinya apabila aman dari fitnah).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya budak laki-laki melihat majikan wanitanya. Dan budak ini memang termasuk mahram si wanita sehingga ia boleh berduaan dengannya dan safar bersamanya serta boleh memandangnya dalam batasan yang diperkenankan untuk dilihat oleh mahramnya.” (Tahdzibus Sunan, dengan catatan kaki ‘Aunul Ma’bud, 11/111)
Dari beberapa hadits yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa boleh bagi seorang wanita untuk menampakkan kepala/rambut, leher, anggota-anggota wudhu, betis dan kedua telapak kakinya –beserta perhiasan dari luar tubuhnya yang ia letakkan pada bagian-bagian tubuh tersebut– di depan ayah, saudara laki-laki, paman, keponakan laki-laki dan mahramnya yang lain.
Kekhususan suami
Di antara yang diperkenankan melihat perhiasan seorang wanita, suami memiliki kekhususan karena dibolehkan bagi suami melihat seluruh perhiasan istrinya yang berarti melihat seluruh tubuh istrinya sampaipun auratnya yang paling tertutup (kemaluan), halal bagi suami, dengan dalil berikut:
Aisyah x berkata:
Di antara yang diperkenankan melihat perhiasan seorang wanita, suami memiliki kekhususan karena dibolehkan bagi suami melihat seluruh perhiasan istrinya yang berarti melihat seluruh tubuh istrinya sampaipun auratnya yang paling tertutup (kemaluan), halal bagi suami, dengan dalil berikut:
Aisyah x berkata:
“Aku dan Rasulullah r pernah mandi bersama dari satu bejana yang dinamakan faraq6.” (HR. Al-Bukhari no. 250 dan Muslim no. 319)
Dalam riwayat Muslim (no. 321) disebutkan: “Tangan kami saling berselisih (bergantian menciduk) padanya.”
Ibnu Hajar Al-Asqalani t menyatakan: “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Yang menguatkan hal ini adalah riwayat Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa, ia pernah ditanya tentang seorang lelaki yang melihat kemaluan istrinya maka ia menjawab: “Aku pernah bertanya kepada ‘Atha, maka ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah lalu Aisyah menyebutkan hadits ini dengan maknanya. Dengan demikian hadits ini merupakan jawaban dalam masalah ini, wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 1/455)
Dengan hadits ini pula menjadi jelas batilnya hadits Aisyah x:
Dalam riwayat Muslim (no. 321) disebutkan: “Tangan kami saling berselisih (bergantian menciduk) padanya.”
Ibnu Hajar Al-Asqalani t menyatakan: “Ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Yang menguatkan hal ini adalah riwayat Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa, ia pernah ditanya tentang seorang lelaki yang melihat kemaluan istrinya maka ia menjawab: “Aku pernah bertanya kepada ‘Atha, maka ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah lalu Aisyah menyebutkan hadits ini dengan maknanya. Dengan demikian hadits ini merupakan jawaban dalam masalah ini, wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 1/455)
Dengan hadits ini pula menjadi jelas batilnya hadits Aisyah x:
“Aku tidak pernah sama sekali melihat aurat Rasulullah r.” (HR.
Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, 1/53). Hadits ini lemah karena ada di
antara rawinya yang dikenal pendusta dan pemalsu hadits (Adabuz Zafaf,
hal. 34)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Masalah suami dan tuan (pemilik budak) boleh melihat perhiasan istri/ budak wanitanya bahkan lebih dari perhiasan itu karena semua bagian tubuhnya halal bagi suami untuk dinikmati dan dipandang. Karena itulah, dalam ayat (surat An-Nur: 31, ketika menyebutkan pihak-pihak yang diperkenankan melihat perhiasan wanita, pen) Allah I mulai dari suami karena kebolehan mereka untuk memandang lebih besar dari sekedar melihat perhiasan. Allah I berfirman:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sungguh dalam hal ini mereka tidaklah tercela.” (Al-Mukminun: 5) (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/154)
Rasulullah r pernah bersabda:
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Masalah suami dan tuan (pemilik budak) boleh melihat perhiasan istri/ budak wanitanya bahkan lebih dari perhiasan itu karena semua bagian tubuhnya halal bagi suami untuk dinikmati dan dipandang. Karena itulah, dalam ayat (surat An-Nur: 31, ketika menyebutkan pihak-pihak yang diperkenankan melihat perhiasan wanita, pen) Allah I mulai dari suami karena kebolehan mereka untuk memandang lebih besar dari sekedar melihat perhiasan. Allah I berfirman:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sungguh dalam hal ini mereka tidaklah tercela.” (Al-Mukminun: 5) (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/154)
Rasulullah r pernah bersabda:
“Jagalah auratmu7kecuali dari istri atau budak wanitamu.”8 (HR. Abu
Dawud no. 3501, dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Albani t dalam
Adabuz Zafaf, hal. 36)
Ibnu Urwah Al-Hambali t dalam Al-Kawakib berkata: “Dibolehkan masing-masing dari suami dan istri untuk melihat seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya sampaipun daerah kemaluannya berdasarkan hadits ini. Dan juga karena dihalalkan suami untuk ‘bernikmat-nikmat’ dengan kemaluan istri, maka tentunya boleh pula melihat kemaluan tersebut. Dan menyentuh kemaluan dibolehkan seperti halnya menyentuh anggota tubuh yang lain.” (Adabuz Zafaf, hal. 35)
Memang dalam masalah suami memandang kemaluan istrinya ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi, antara yang membolehkan dan yang melarang, namun wallahu a‘lam yang rajih (kuat) adalah pendapat yang membolehkan. Demikian madzhab Al-Imam Malik t dan selain beliau dengan dalil yang telah disebutkan di atas dan juga karena hadits yang melarang melihat kemaluan adalah hadits yang lemah seperti hadits Abu Hurairah z dari Nabi r:
Ibnu Urwah Al-Hambali t dalam Al-Kawakib berkata: “Dibolehkan masing-masing dari suami dan istri untuk melihat seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya sampaipun daerah kemaluannya berdasarkan hadits ini. Dan juga karena dihalalkan suami untuk ‘bernikmat-nikmat’ dengan kemaluan istri, maka tentunya boleh pula melihat kemaluan tersebut. Dan menyentuh kemaluan dibolehkan seperti halnya menyentuh anggota tubuh yang lain.” (Adabuz Zafaf, hal. 35)
Memang dalam masalah suami memandang kemaluan istrinya ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi, antara yang membolehkan dan yang melarang, namun wallahu a‘lam yang rajih (kuat) adalah pendapat yang membolehkan. Demikian madzhab Al-Imam Malik t dan selain beliau dengan dalil yang telah disebutkan di atas dan juga karena hadits yang melarang melihat kemaluan adalah hadits yang lemah seperti hadits Abu Hurairah z dari Nabi r:
“Apabila salah seorang dari kalian menggauli istri atau budak
wanitanya, janganlah ia melihat kemaluan istri/ budak wanitanya karena
hal itu mewariskan kebutaan.”
Hadits ini palsu (maudhu‘) kata Asy-Syaikh Albani t (Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no. 196, Adabuz Zafaf hal. 35)
Dengan penjelasan di atas pahamlah kita bahwasanya tidak ada batasan aurat antara suami dengan istrinya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Hadits ini palsu (maudhu‘) kata Asy-Syaikh Albani t (Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no. 196, Adabuz Zafaf hal. 35)
Dengan penjelasan di atas pahamlah kita bahwasanya tidak ada batasan aurat antara suami dengan istrinya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
1 Termasuk dalam hal ini mahram karena susuan, seperti ayah susu, anak susu, saudara susu, dan sebagainya.
2 1 sha‘ sama dengan 4 mud, sedangkan ukuran 1 mud sama dengan sepenuh dua telapak tangan sedang yang digabungkan, tidak digenggam dan tidak pula dibentangkan.
3 Dengan demikian Aflah adalah paman susu Aisyah
4 Kata Al-Imam As-Sindi t dalam Hasyiyah-nya ketika mengomentari hadits ini: “Mungkin Salim adalah budak dari sebagian keluarga dekat Aisyah. Sementara Aisyah berpendapat boleh budak laki-laki masuk menemui majikan wanitanya dan kerabat-kerabatnya, wallahu a`lam.” (Sunan An-Nasa’i, 1/73)
5 Yakni melihat kebingungan dan rasa malu Fathimah, dan bagaimana ia kesulitan menutupi tubuhnya dengan menarik pakaiannya dari kaki agar menutupi kepala dan dari kepala agar menutupi kakinya karena rasa malu. (‘Aunul Ma’bud, 11/111)
6 Sufyan berkata: Faraq adalah tiga sha’
7 Yakni tutuplah
8 Di sini menunjukkan istri dan budak wanita boleh melihat kemaluan suami atau tuannya dan sebaliknya suami/ tuan boleh melihat kemaluan keduanya. (Aunul Ma‘bud, 11/39)
2 1 sha‘ sama dengan 4 mud, sedangkan ukuran 1 mud sama dengan sepenuh dua telapak tangan sedang yang digabungkan, tidak digenggam dan tidak pula dibentangkan.
3 Dengan demikian Aflah adalah paman susu Aisyah
4 Kata Al-Imam As-Sindi t dalam Hasyiyah-nya ketika mengomentari hadits ini: “Mungkin Salim adalah budak dari sebagian keluarga dekat Aisyah. Sementara Aisyah berpendapat boleh budak laki-laki masuk menemui majikan wanitanya dan kerabat-kerabatnya, wallahu a`lam.” (Sunan An-Nasa’i, 1/73)
5 Yakni melihat kebingungan dan rasa malu Fathimah, dan bagaimana ia kesulitan menutupi tubuhnya dengan menarik pakaiannya dari kaki agar menutupi kepala dan dari kepala agar menutupi kakinya karena rasa malu. (‘Aunul Ma’bud, 11/111)
6 Sufyan berkata: Faraq adalah tiga sha’
7 Yakni tutuplah
8 Di sini menunjukkan istri dan budak wanita boleh melihat kemaluan suami atau tuannya dan sebaliknya suami/ tuan boleh melihat kemaluan keduanya. (Aunul Ma‘bud, 11/39)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar