Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 081
Pengantar Redaksi
السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Amanah
kian pudar di zaman sekarang. Utang piutang demikian sering terjadi,
demikian sering pula ada pihak-pihak yang terzalimi. Banyak orang yang
berutang lantas mangkir dari kewajiban membayar. Amanah memang mudah
diucapkan, namun sulit kala dipraktikkan.
Di zaman yang kejujuran
dan sikap amanah menjadi barang mahal, banyak muamalah utang piutang
yang menuntut adanya jaminan/agunan untuk memberikan rasa aman bagi
pemberi utang (kreditor). Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai
harta dalam pandangan syariat sebagai jaminan utang, yang memungkinkan
untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari jaminan tersebut,
itulah yang disebut gadai (ar-rahn).
Gadai sendiri pernah dipraktikkan oleh
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kepada seorang Yahudi,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menggadaikan baju perangnya demi
membeli sedikit gandum. Tidak berarti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam tidak dipercaya jika “sekadar” utang tanpa agunan. Namun,
perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ini mengandung hikmah
yang besar.
Tidak hanya sebagai dalil yang memberi
keabsahan praktik gadai, namun menunjukkan itikad baik beliau sekaligus
kesederhanaan seorang pemimpin umat. Kondisi prihatin dan serba
kekurangan yang semestinya dicontoh oleh kita semua, terutama para
pemimpin atau pejabat pemerintahan.
Sudah mafhum, tabiat manusia adalah suka
menzalimi sesama. Oleh karena itu, Islam pun memagari setiap muamalah
(transaksi) dengan aturan-aturan yang indah agar manusia melakukan
muamalah secara benar, tidak memakan harta orang lain dengan cara yang
batil. Islam mensyariatkan ar-rahn untuk kemaslahatan bersama dan
masyarakat secara luas.
Dengan gadai, orang yang
menggadaikan/pemberi gadai (ar-rahin) tertutupi kebutuhannya tanpa harus
kehilangan harta miliknya. Adapun pemberi utang/pemegang gadai
(al-murtahin), selain mendapat ketenangan dan rasa aman atas haknya, dia
juga mendapatkan keuntungan syar’i apabila memang ia niatkan untuk
mencari pahala dari Allah Subhanahu wata’ala.
Adapun kemaslahatan yang dirasakan
masyarakat, yaitu memperluas interaksi, saling memberikan kecintaan dan
kasih sayang di antara mereka, serta menjauhkan masyarakat dari praktik
bunga yang tidak wajar, ijon, dan praktik riba lainnya.
Gadai, pada asalnya mengikuti (bersifat
accessoir) akad (perjanjian) pokoknya berupa utang piutang. Ketika
terjadi perjanjian utang piutang, barang/objek gadai (marhun) harus
diserahterimakan oleh ar-rahin kepada al-murtahin sejak dilangsungkannya
akad. Serah terima (qabdh) ini bahkan menjadi syarat mutlak
(inbezitstelling) dari gadai. Dengan serah terima tersebut, agunan akan
berada di bawah kekuasaan (secara fisik) al-murtahin.
Namun, agunan dalam syariat gadai adalah
amanat, hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
Murtahin dalam hal ini hanya mempunyai hak kebendaan, tidak boleh
memanfaatkan atau menyalahgunakan barang gadai. Dengan kata lain, fungsi
marhun adalah untuk menjaga kepercayaan setiap pihak, sehingga murtahin
meyakini bahwa rahin beritikad baik untuk mengembalikan pinjamannya.
Penjualan objek gadai (baik dengan cara
lelang maupun lainnya) hanyalah upaya terakhir yang dilakukan apabila
ada rahin yang wanprestasi (hingga batas waktu yang telah ditetapkan
rahin masih belum melunasi pinjamannya).
Alhasil, Islam sangat menjaga agar
transaksi gadai benar-benar tidak merugikan salah satu pihak, dengan
melarang bunga gadai, mencegah timbulnya biaya-biaya yang tidak
disebutkan dalam akad awal, dan sebagainya. Akad gadai pun dilarang
mengandung syarat fasid, seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan
dapat dimanfaatkan tanpa batas. Islam benar-benar menyeimbangkan hak dan
kewajiban secara indah di tengah mahalnya sifat amanah di tengah umat.
والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Tidak ada komentar:
Posting Komentar