Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 009
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi)
Di masa sekarang, anak yang benar-benar mau berbakti kepada orang tua
jumlahnya sungguh sedikit. Yang sering dijumpai adalah sebaliknya, anak
yang tidak tahu berterima kasih kepada orang yang telah membesarkannya.
Ketika orang tua berusia lanjut dan sakit-sakitan, sang anak bukannya
memberikan perawatan tapi malah memasukkan mereka ke panti jompo. Inilah
realita yang banyak terjadi di sekitar kita.
Anak merupakan idaman setiap orang. Ia tidak hanya didamba oleh orang
yang sudah berkeluarga, namun tak jarang juga oleh mereka yang masih
melajang. Kehadiran anak merupakan penyemarak kehidupan sebuah keluarga.
Tanpa mereka, hari-hari sebuah keluarga laksana sayur tanpa garam.
Terasa hambar dan tidak lengkap.
Begitu berartinya anak bagi sebuah keluarga hingga terkadang orang-orang yang belum dikaruniai anak mau menempuh segala cara untuk mendapatkan harapannya itu. Mereka lupa bahwa anak adalah pemberian dari Allah, yang mestinya hanya kepada-Nya mereka meminta.
Bagi orang-orang yang beriman, mereka menyadari bahwa anak merupakan nikmat dari Allah sekaligus sebagai ujian. Dalam ruku’ dan sujud serta dalam segala munajat, mereka meminta agar dikaruniai keturunan yang baik, yaitu anak-anak yang shalih dan berbakti kepada orang tuanya.
Kehadiran anak akan menjadi penyejuk mata orang tua, menjadi penggembira ketika susah, menjadi penghangat ketika kedinginan, serta menjadi penghibur qalbu ketika gundah gulana. Kalimat “Anakku sayang,” akan senantiasa terucap meski sang ibu atau bapak sedang mengalami sakit yang parah. “Biar bapakmu susah asal kamu tetap senang,” demikian ucapan seorang bapak yang sangat sayang pada anaknya.
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami sebagai
imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)
Namun aduhai, tidak sedikit para bapak dan ibu memberikan cinta dan kasih sayang secara berlebihan hingga mencampakkan anaknya ke jurang kerugian hidup dunia dan akhirat. Semua keinginan anak berusaha untuk dipenuhi apapun bentuknya: televisi, gitar, dan alat-alat musik lainnya, gambar-gambar, dan segala bentuk permainan berusaha didapatkan, baik dengan cara menipu, menjilat, korupsi, mencuri, merampok dsb. Sungguh malang nasib kedua orang tua di dunia dan akhirat, dan betapa malang pula nasib anak yang tidak diikat dengan batasan syariat.
Di sisi lain terkadang ada seorang anak yang keadaannya bagai burung dalam sangkar. Keinginan anak untuk menjadi orang shalih dan menjadi seorang hamba yang mulia di sisi Allah I, justru mendapatkan ancaman yang pahit dan lecutan cemeti caci maki serta olok-olok dari orang tuanya.
Semburan ludah, tamparan ke wajah sang anak, pemboikotan harus mengiringi kehidupan dan derap langkah serta kemerdekaannya. Apa yang diinginkan orang tuanya dari buah hatinya itu? Ternyata mereka menginginkan anaknya menyandang gelar keduniaan dengan menutup keinginannya mendapatkan gelar akhirat.
Orang tua itu berharap dengan gelar keduniaan yang diraih akan mendatangkan sesuap nasi dan bisa mengantarkan kepada kehidupan mewah. Walaupun untuk mendapatkan gelar itu harus berkecimpung dalam api neraka Allah I.
Wahai ibu dan bapak, akankah engkau menggiring dan memandu anakmu di atas duri-duri dan kaca-kaca tajam untuk meraih keinginanmu dan bukan keinginan anakmu?
Demikianlah gambaran kehidupan anak yang harus menghadapi orang tua yang memiliki keinginan berbeda-beda dan begitu juga orang tua yang menghadapi anak-anak memiliki cita-cita yang berbeda. Wahai ibu, bapak, dan anak, dengarkanlah sabda Rasulullah I:
Namun aduhai, tidak sedikit para bapak dan ibu memberikan cinta dan kasih sayang secara berlebihan hingga mencampakkan anaknya ke jurang kerugian hidup dunia dan akhirat. Semua keinginan anak berusaha untuk dipenuhi apapun bentuknya: televisi, gitar, dan alat-alat musik lainnya, gambar-gambar, dan segala bentuk permainan berusaha didapatkan, baik dengan cara menipu, menjilat, korupsi, mencuri, merampok dsb. Sungguh malang nasib kedua orang tua di dunia dan akhirat, dan betapa malang pula nasib anak yang tidak diikat dengan batasan syariat.
Di sisi lain terkadang ada seorang anak yang keadaannya bagai burung dalam sangkar. Keinginan anak untuk menjadi orang shalih dan menjadi seorang hamba yang mulia di sisi Allah I, justru mendapatkan ancaman yang pahit dan lecutan cemeti caci maki serta olok-olok dari orang tuanya.
Semburan ludah, tamparan ke wajah sang anak, pemboikotan harus mengiringi kehidupan dan derap langkah serta kemerdekaannya. Apa yang diinginkan orang tuanya dari buah hatinya itu? Ternyata mereka menginginkan anaknya menyandang gelar keduniaan dengan menutup keinginannya mendapatkan gelar akhirat.
Orang tua itu berharap dengan gelar keduniaan yang diraih akan mendatangkan sesuap nasi dan bisa mengantarkan kepada kehidupan mewah. Walaupun untuk mendapatkan gelar itu harus berkecimpung dalam api neraka Allah I.
Wahai ibu dan bapak, akankah engkau menggiring dan memandu anakmu di atas duri-duri dan kaca-kaca tajam untuk meraih keinginanmu dan bukan keinginan anakmu?
Demikianlah gambaran kehidupan anak yang harus menghadapi orang tua yang memiliki keinginan berbeda-beda dan begitu juga orang tua yang menghadapi anak-anak memiliki cita-cita yang berbeda. Wahai ibu, bapak, dan anak, dengarkanlah sabda Rasulullah I:
“Apabila anak Adam meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali tiga
perkara shadaqah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak
yang shalih yang akan mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim no.
1631 dari shahabat Abu Hurairah z)
Dan dengarkan firman Allah I:
Dan dengarkan firman Allah I:
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti
mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan
kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, tiap-tiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath-Thur: 21)
Peranan Orang Tua
Orang tua memiliki peranan besar dalam mengubah fitrah seorang anak. Dia bisa menjadi sebab bagi anak menjadi orang yang celaka di dunia dan akhirat, dan bisa pula menjadi sebab bagi anak menjadi orang yang selamat di dunia dan akhirat. Tentu semua itu tidak terlepas dari taqdir Allah I.
a. Orang tua menyeru buah hatinya menuju kekufuran
Di antara orang tua ada yang dengan sengaja menyeru anaknya menuju kekufuran kepada Allah I dan menuju kesesatan dengan tidak sedikit disertakan ancaman-ancaman, pembunuhan, pengucilan, pengusiran, penyiksaan dan sebagainya.
Rasulullah I telah menggambarkan hal yang demikian di dalam sabdanya:
Orang tua memiliki peranan besar dalam mengubah fitrah seorang anak. Dia bisa menjadi sebab bagi anak menjadi orang yang celaka di dunia dan akhirat, dan bisa pula menjadi sebab bagi anak menjadi orang yang selamat di dunia dan akhirat. Tentu semua itu tidak terlepas dari taqdir Allah I.
a. Orang tua menyeru buah hatinya menuju kekufuran
Di antara orang tua ada yang dengan sengaja menyeru anaknya menuju kekufuran kepada Allah I dan menuju kesesatan dengan tidak sedikit disertakan ancaman-ancaman, pembunuhan, pengucilan, pengusiran, penyiksaan dan sebagainya.
Rasulullah I telah menggambarkan hal yang demikian di dalam sabdanya:
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah (kesucian) maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR.
Al-Bukhari no. 1279, Muslim no. 2658, dari Abu Hurairah z)
Abu ‘Amr ‘Utsman bin Sa’id Ad-Dani Al-Qurthubi t mengatakan: “Makna ‘keduanya menjadikan Yahudi atau Nasrani’ adalah keduanya menghukumi anak itu sebagaimana hukum terhadap diri keduanya (dengan Yahudi, Nasrani, Majusi -pen). Dan ada yang mengatakan (bahwa maknanya) keduanya menyeru anaknya menuju agama yang dia berada di atasnya dari Yahudi atau Nasrani.” (Lihat Ar-Risalah Al-Wafiyah hal. 97)
Demikian Rasulullah r menjelaskan tentang orang tua yang memiliki pengaruh demikian besar dalam mengubah kesucian fitrah seorang anak.
Allah I menceritakan di dalam Al Qur’an percakapan antara Ibrahim u dengan bapaknya:
Abu ‘Amr ‘Utsman bin Sa’id Ad-Dani Al-Qurthubi t mengatakan: “Makna ‘keduanya menjadikan Yahudi atau Nasrani’ adalah keduanya menghukumi anak itu sebagaimana hukum terhadap diri keduanya (dengan Yahudi, Nasrani, Majusi -pen). Dan ada yang mengatakan (bahwa maknanya) keduanya menyeru anaknya menuju agama yang dia berada di atasnya dari Yahudi atau Nasrani.” (Lihat Ar-Risalah Al-Wafiyah hal. 97)
Demikian Rasulullah r menjelaskan tentang orang tua yang memiliki pengaruh demikian besar dalam mengubah kesucian fitrah seorang anak.
Allah I menceritakan di dalam Al Qur’an percakapan antara Ibrahim u dengan bapaknya:
“Ingatlah ketika Ia- (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: ‘Wahai
bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak
melihat dan tidak bisa menolongmu sedikitpun? Wahai bapakku,
sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang
tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan
kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku janganlah kamu menyembah setan.
Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai
bapakku sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari
Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.’ Berkata
bapaknya: ‘Bencikah kamu kepada Tuhan-Tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu
tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam dan tinggalkanlah aku
dalam waktu yang lama’.” (Maryam: 42-46)
b. Sebagian orang tua menyeru menuju kebahagiaan hidup di atas iman
Inilah tentu yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah menceritakan di dalam Al Qur’an tentang Nabi Nuh u:
b. Sebagian orang tua menyeru menuju kebahagiaan hidup di atas iman
Inilah tentu yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah menceritakan di dalam Al Qur’an tentang Nabi Nuh u:
“Dan Nuh berkata: ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya (perahu) dengan
menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya
Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. Dan bahtera itu
berlayar dan membawa mereka dalam gelombang laksana gunung dan Nuh
memanggil anaknya, sesungguhnya anaknya berada di tempat yang jauh
terpencil, ‘Hai anakku naiklah ke (kapal) bersama kami dan janganlah
kamu berada bersama orang-orang kafir’.” (Hud: 41-42)
Kedua jenis seruan di atas terkait dengan keputusan dan ketentuan Allah terhadap diri sang anak. Artinya, bahwa kedua orang tua bagaimanapun dia mengusahakan agar anaknya kafir, tetap dia tidak sanggup bila tidak ada ijin dari Allah I. Begitu juga sebaliknya, setinggi apapun usaha keduanya agar anaknya menjadi orang yang shalih, bila tidak ada ijin dari Allah I maka keduanya tidak akan sanggup.
Kedua jenis seruan di atas terkait dengan keputusan dan ketentuan Allah terhadap diri sang anak. Artinya, bahwa kedua orang tua bagaimanapun dia mengusahakan agar anaknya kafir, tetap dia tidak sanggup bila tidak ada ijin dari Allah I. Begitu juga sebaliknya, setinggi apapun usaha keduanya agar anaknya menjadi orang yang shalih, bila tidak ada ijin dari Allah I maka keduanya tidak akan sanggup.
Anak yang Baik
Birrul Walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua) dan tidak durhaka adalah wajib, bahkan Allah gandengkan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan perintah menyembah-Nya semata. Hal ini menunjukkan besarnya kedudukan Birrul walidain.
a. Bentuk-bentuk Birrul Walidain
1. Menaati perintah keduanya serta menjauhi larangannya selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah I. Sebab tidak ada kewajiban taat kepada siapapun dalam bermaksiat kepada Allah I. Allah I berfirman:
Birrul Walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua) dan tidak durhaka adalah wajib, bahkan Allah gandengkan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan perintah menyembah-Nya semata. Hal ini menunjukkan besarnya kedudukan Birrul walidain.
a. Bentuk-bentuk Birrul Walidain
1. Menaati perintah keduanya serta menjauhi larangannya selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah I. Sebab tidak ada kewajiban taat kepada siapapun dalam bermaksiat kepada Allah I. Allah I berfirman:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk kamu menyekutukan Aku dan kamu
tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kamu menaati keduanya dan
pergaulilah mereka di dunia dengan cara yang baik.” (Luqman: 15)
Rasulullah r bersabda:
Rasulullah r bersabda:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah,
sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim
dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib z)
2. Memuliakan keduanya dan merendah di hadapannya, berucap dengan ucapan yang baik serta tidak membentaknya.
Allah I berfirman:
2. Memuliakan keduanya dan merendah di hadapannya, berucap dengan ucapan yang baik serta tidak membentaknya.
Allah I berfirman:
“Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya telah lanjut usia
dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik, dan rendahkan dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” (Al-Isra: 23-24)
3. Tidak melakukan safar (perjalanan) jauh melainkan dengan seijin keduanya begitu juga jihad yang hukumnya fardhu kifayah.
Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c berkata:
3. Tidak melakukan safar (perjalanan) jauh melainkan dengan seijin keduanya begitu juga jihad yang hukumnya fardhu kifayah.
Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c berkata:
“Seseorang menghadap Nabi Allah r lalu berkata: ‘Aku memba’iatmu di
atas hijrah dan jihad untuk mencari pahala dari Allah I.’ Rasulullah
berkata: ‘Apakah salah seorang dari kedua orang tuamu masih hidup?’ Dia
menjawab: ‘Ya, bahkan keduanya.’ Dan beliau bersabda: ‘Kamu ingin
mencari pahala dari Allah?’ Dia menjawab: ‘Ya.’ Rasulullah bersabda:
‘Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan berbuat baiklah kepada
keduanya’.” (HR. Al-Bukhari, 6/97, 98, dan Muslim no. 2549)
4. Tidak boleh mendahulukan istri dan anaknya atas hak kedua orang tua, berdasarkan hadits tentang tiga orang yang masuk ke dalam gua lalu gua tersebut tertutup dengan batu sehingga tidak bisa keluar darinya. Lalu ketiga orang tersebut berdoa kepada Allah dengan cara bertawassul dengan amal-amal mereka yang shalih. Salah satu di antara mereka bertawassul dengan amal mengutamakan hak kedua orang tuanya dari hak anak-anak dan istrinya. (HR. Al-Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743 dari shahabat Abdullah bin ‘Umar c)
5. Bersyukur terhadap segala bentuk pengorbanannya dengan melaksanakan segala wujud kebaikan seperti memberi keduanya makan dan pakaian jika membutuhkan, mengobati bila keduanya sakit, menghilangkan segala macam gangguan dan berkhidmat terhadap segala sesuatu yang dibutuhkannya. Allah I berfirman:
4. Tidak boleh mendahulukan istri dan anaknya atas hak kedua orang tua, berdasarkan hadits tentang tiga orang yang masuk ke dalam gua lalu gua tersebut tertutup dengan batu sehingga tidak bisa keluar darinya. Lalu ketiga orang tersebut berdoa kepada Allah dengan cara bertawassul dengan amal-amal mereka yang shalih. Salah satu di antara mereka bertawassul dengan amal mengutamakan hak kedua orang tuanya dari hak anak-anak dan istrinya. (HR. Al-Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743 dari shahabat Abdullah bin ‘Umar c)
5. Bersyukur terhadap segala bentuk pengorbanannya dengan melaksanakan segala wujud kebaikan seperti memberi keduanya makan dan pakaian jika membutuhkan, mengobati bila keduanya sakit, menghilangkan segala macam gangguan dan berkhidmat terhadap segala sesuatu yang dibutuhkannya. Allah I berfirman:
“Dan Kami telah memerintahkan kepada manusia untuk (berbuat baik)
kepada kedua orang tuanya, karena ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah di atas kelemahan dan menyapihnya selama dua tahun maka
bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” (Luqman: 14)
6. Menyambung silaturahmi yang berasal dari keduanya dan mendoakan keduanya dengan segala ampunan. Allah I berfirman:
6. Menyambung silaturahmi yang berasal dari keduanya dan mendoakan keduanya dengan segala ampunan. Allah I berfirman:
“Dan katakanlah: Ya Allah rahmatilah keduanya sebagaimana keduanya telah mendidikku semasa kecilku.” (Al-Isra: 24)
b. Bentuk-bentuk kedurhakaan kepada keduanya
Hal ini merupakan lawan dari hal yang disebutkan sebelumnya. Mencaci maki keduanya, membentak dan menghardik, memukul, memperbudak, mengkhianati, mendustakannya, menipu, tidak taat kepada perintah keduanya dan sebagainya merupakan beberapa bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua. Jadikanlah kedua orang tuamu sebagai ladangmu untuk mempersiapkan diri dan tempat bercocok tanam untuk akhiratmu! Jadikanlah keduanya sebagai jembatan pengantar dirimu menuju surga Allah! Nabi r bersabda:
b. Bentuk-bentuk kedurhakaan kepada keduanya
Hal ini merupakan lawan dari hal yang disebutkan sebelumnya. Mencaci maki keduanya, membentak dan menghardik, memukul, memperbudak, mengkhianati, mendustakannya, menipu, tidak taat kepada perintah keduanya dan sebagainya merupakan beberapa bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua. Jadikanlah kedua orang tuamu sebagai ladangmu untuk mempersiapkan diri dan tempat bercocok tanam untuk akhiratmu! Jadikanlah keduanya sebagai jembatan pengantar dirimu menuju surga Allah! Nabi r bersabda:
“Nista dan hinanya, nista dan hinanya, nista dan hinanya.” Lalu
ditanyakan: “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Yaitu yang
menjumpai kedua orang tua lalu tidak menyebabkan dia masuk ke dalam
surga.” (HR. Muslim no. 2551 dari Abu Hurairah z)
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.
1 Karena Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh
dengan niat, bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal.
2 Baik itu wudhu, shalat, puasa dan ibadah lainnya.
3 Atau “ushalli…”, sebagaimana yang sering kita dengar dari saudara-saudara kita yang sangat jahil dengan agama ini.
4 Kitab karangan Al-Imam Asy-Syafi’i.
5 Istilah dalam ilmu nahwu.
6 Artinya bahwa talbiyah merupakan dzikir, dan bukan melafadzkan niat.
7 Artinya ibadah yang ditunaikan pada waktunya.
8 Artinya ibadah yang ditunaikan setelah waktunya berlalu.
9 Artinya shalat yang diwajibkan pada waktu itu, baik dzuhur, atau ashar dan lainnya.
10 Yaitu 10 lafadz kata yang disebutkan.
2 Baik itu wudhu, shalat, puasa dan ibadah lainnya.
3 Atau “ushalli…”, sebagaimana yang sering kita dengar dari saudara-saudara kita yang sangat jahil dengan agama ini.
4 Kitab karangan Al-Imam Asy-Syafi’i.
5 Istilah dalam ilmu nahwu.
6 Artinya bahwa talbiyah merupakan dzikir, dan bukan melafadzkan niat.
7 Artinya ibadah yang ditunaikan pada waktunya.
8 Artinya ibadah yang ditunaikan setelah waktunya berlalu.
9 Artinya shalat yang diwajibkan pada waktu itu, baik dzuhur, atau ashar dan lainnya.
10 Yaitu 10 lafadz kata yang disebutkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar