Masyarakat terkejut tatkala terjadi pembunuhan terhadap salah satu nasabah bank swasta. Kasus ini bermula ketika nasabah tersebut datang ke bank untuk mengurus utang kartu kreditnya sekitar 60 juta rupiah. Ia marah ketika mengetahui tagihannya di bank membengkak menjadi 100 juta rupiah. Terjadilah negosiasi alot dengan pihak penagihan utang, yang berakhir pada kematian sang nasabah dengan tubuh bekas penganiayaan. (detiknews.com, 04/05/2011)
Selang beberapa minggu setelah kasus ini mencuat, terjadi lagi peristiwa pembunuhan yang berlatar belakang penagihan utang kredit mobil. Bedanya, yang tewas justru sang penagih utang. Penagih utang tersebut tewas dianiaya oleh nasabah. (kompas.com, 19/04/2011)
***
Gencarnya media dalam menampilkan kehidupan yang serba mewah telah menimbulkan gaya hidup konsumtif dalam masyarakat kita. Tidak hanya terjadi di kota-kota besar, gaya hidup konsumtif pun mulai merambah ke pelosok-pelosok desa.
Seiring dengan menjamurnya lembaga-lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan cara yang sangat mudah, masyarakat yang konsumtif jadi merasa gampang dalam membeli sesuatu. Tinggal mengisi formulir pengajuan kredit, menandatanganinya, barang pun terbeli. Masalah bagaimana melunasinya, urusan nanti. Yang penting menikmati dulu barangnya, menikmati rasa gengsi yang timbul karena membeli barang mahal. Apa manfaat dari barang yang dibeli seringkali justru menjadi pertimbangan kedua. Masalah mulai timbul ketika tagihan kredit datang, yang ternyata jumlahnya membengkak akibat bunga.
Pembaca yang dirahmati Allah…
Praktek kredit sekarang ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan. Sehingga bunga dianggap sebagai biaya penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek kredit sekarang, bunga ditetapkan sejak pertama kali dana dipinjam. Sehingga banyak ulama yang mengatakan bahwa praktek kredit yang terjadi saat ini lebih zalim dibandingkan dengan riba jahiliyah.
Mungkin ada yang berpikir, “Ah….yang zalim kan si pemberi hutang (yang mengambil riba), kita-kita yang jadi penghutang (sebagai pihak yang dirugikan) kan enggak dapat dosa”. Pandangan ini sepenuhnya salah, karena semua pihak yang terlibat dalam transaksi riba mendapatkan dosanya. Jabir mengatakan, Rasulullah ` melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan kedua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)
Masalah yang timbul akibat riba bukan hanya merugikan si penghutang saja. Namun riba juga menimbulkan konflik (dicontohkan pada awal artikel), dan menghilangkan ukhuwah (rasa persaudaraan) di kalangan manusia. Sistem riba mendorong manusia untuk melakukan kezaliman atas yang lain, hanya berdiam diri tanpa usaha apapun, tapi mengeruk keuntungan dari piutang yang berkembang. Ambruknya perekonomian Amerika Serikat akibat kredit macet perumahan rakyat, krisis yang menimpa Yunani, hingga kasus Bank Century yang menimpa negeri kita, menunjukkan bahwa merajalelanya riba bahkan berdampak buruk pada seluruh negeri. Rasulullah ` bersabda, “Apabila telah tampak perzinaan dan riba di suatu negeri, maka mereka berarti telah menghalalkan adzab Allah untuk diri mereka.” (HR. Ath-Thabarani dihasankan oleh Syaikh Al-Albani ).
Sedemikian mengerikannya dampak riba dalam kehidupan manusia sehingga riba dikategorikan sebagai dosa besar. Rasulullah ` bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi dari shahabat Abdullah bin Mas’ud z dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Al Jami’).
Pembaca yang dirahmati Allah…
Gaya hidup konsumtif yang menyeret pada riba, sesungguhnya bisa dihindari jika kita mampu menahan diri untuk tidak membelanjakan harta di luar kebutuhan. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh membelanjakan hal-hal yang diinginkan, namun hendaknya kita selalu mengukur dari sisi manfaatnya. Hendaknya kita selalu bertanya kepada diri sendiri, “Apakah saya sudah butuh membelinya? Atau hanya sekedar gengsi? Apakah orang-orang di sekeliling saya juga sudah terpenuhi kebutuhannya?
Allah l berfirman,
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudaranya syaithan” (QS. Al Isro’ : 27)
Kehidupan yang sederhana dan selalu merasa berkecukupan insyaAllah akan selalu membuat tenang jiwa kita. Tidak akan ada habisnya jika kita terus melihat orang yang lebih kaya. Sering-seringlah melihat ke bawah, mengasihi fakir miskin dan anak yatim, melihat orang yang hidupnya lebih susah. Karena dengannya kita bisa belajar mensyukuri apa-apa yang kita miliki.
Rasulullah ` mengajarkan kita untuk membaca doa berikut pada akhir shalat:
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan agar bisa beribadah dengan baik kepadaMu.” (HR. An Nasa’i dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Semoga Allah l menjadikan kita sebagai hamba yang senantiasa bersyukur, yang tidak mudah tergoda dengan kemewahan dunia. Wallahu a’lam bish shawab. (Ristyandani)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar